Hei...Hei..Hei... buat kalian yang lagi sibuk dengan tugas yang berhubungan dengan Ulumul Qur'an..tenang..jangan sedih dan jangan berbingung ria, karena disinilah tempatnya anda akan mendapatkan pencerahan tentang Apa sih Tafsir, Apa sih Ta'wil dan Terjemah...
Daaaaan semoga bermanfaat yaaaa...
A.
Latar Belakang
Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa
dulunya kehidupan manusia merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan dan
hanya karena suatu kedengkian maka terjadilah perselisihan yang berlanjut
secara terus menerus. Di sisi lain, dengan lajunya perkembangan penduduk dan
pesatnya perkembangan masyarakat, muncullah persoalan-persoalan baru yang
memerlukan penyelesaian. Untuk menjawab keadaan itu, Allah mengutus para Rasul
yang berfungsi sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Bersama
diutusnya Rasul, diturunkan pula al-Kitab yang berfungsi menyelesaikan
perselisihan dan menemukan jalan keluar dari berbagai masalah yang dihadapi
manusia. Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia ke jalan yang
diridhai Allah dan berfungsi pula sebagai pencari jalan keluar dari kegelapan
menuju alam terang benderang. Fungsi ideal al-Qur’an itu dalam realitasnya
tidak begitu saja dapat diterapkan, akan tetapi membutuhkan pemikiran dan
analisis yang mendalam. Dalam upaya pemusatan pemikiran dan analisis dalam
menetapkan sekaligus ketentuan hukum yang dikandung dalam al-Qur’an maka
diperlukanlah penafsiran, ta’wil serta terjemah terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pengertian dari Tafsir, Ta’wil, dan Terjemah ?
2.
Bagaimana
klasifikasi dari Tafsir, Ta’wil, dan Terjemah ?
3.
Apa
urgensi dari mempelajari Tafsir, Ta’wil, dan Terjemah ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari Tafsir, Ta’wil, dan Terjemah.
2.
Untuk
mengetahui klasifikasi dari Tafsir, Ta’wil, dan Terjemah.
3.
Untuk
mengetahui urgensi dari mempelajari Tafsir, Ta’wil, dan Terjemah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tafsir
1.
Pengertian
Tafsir
Istilah tafsir di dalam
al-Qur’an dapat dilihat pada surat al-Furqan (25) : 33 yang berbunyi :
وَلَايَأْتُوْنَكَ بِمَثَلٍ إِلَّ جِئْنَكَ بِا لْحَقِّ وَاَحْسَنَ تَفْسِيْرًا
“ Tidaklah orang-orang
kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil melainkan Kami
datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penafsirannya
(penjelasannya).”[1]
Secara harfiyah, kata
tafsir yang berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk masdar dari kata fassara
serta terdiri dari huruf fa, sin dan ra itu berarti
keadaan jelas (nyata dan terang) dan memberikan penjelasan.[2] Tafsir
menurut bahasa artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, tafsir adalah keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat
al-Qur’an yang dimaksud agar lebih mudah dipahami.[3] Adapun pengertian tafsir menurut para ulama
yaitu sebagai berikut:
a.
Menurut Al-Kilabi,
tafsir adalah menjelaskan al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa
yang dikehendaki dengan nashnya atau dengan isyaratnya atau tujuannya.
- Menurut Syekh Al-Jazairi, tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafadz yang sukar dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafadz sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu dialah lafadz tersebut.
- Menurut Az-Zarkasyi, tafsir adalah ilmu tentang turunnya ayat al-Qur’an, surat-suratnya, kisah-kisahnya, isyarat-isyarat yang turun bersamanya, makkiyah dan madaniyahnya, muhkam dan mustasyabihatnya, nasikh dan mansukhnya, ‘am dan khasnya, muthlaq dan muqayyadnya serta mujmal dan mufashalnya, dan lain-lain.[4]
- Menurut Abu Hayyan, tafsir adalah ilmu mengenai cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an serta cara mengungkapkan petunjuk, kandungan-kandungan hukum, dan makna yang terkandung di dalamnya.
- Adz-Dzahabi mendefinisikan tafsir sebagai penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah Swt. sesuai dengan kemampuan manusia.[5]
Jadi dapat disimpulkan
bahwa tafsir bermakna menjelaskan hal-hal yang masih samar yang dikandung dalam
ayat al-Qur’an sehingga dengan mudah dapat di mengerti, mengeluarkan hukum yang
terkandung di dalamnya untuk diterapkan dalam kehidupan sebagai suatu ketentuan
hukum.
2. Klasifikasi Tafsir
Secara umum para ulama
telah mengklasifikasikan tafsir menjadi tiga macam yaitu: Tafsir bi
al-riwayah atau disebut juga dengan tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi
al-dirayah atau disebut juga dengan tafsir bi al-ra’yi, dan tafsir bi
al-isyarah.
a. Tafsir bi al-Ma’tsur
Al-ma’tsur berarti
sesuatu yang diriwayatkan. Secara istilah tafsir bi al-ma’tsur adalah
penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran al-Qur’an dengan hadis Nabi
Saw., penafsiran al-Qur’an dengan perkataan sahabat, penafsiran al-Qur’an
dengan tabi’in.[6]
Semua ayat-ayat al-Qur`an
telah dijelaskan oleh nabi Muhammad saw, sebagai pemegang otoritas tertinggi
dalam menafsirkan al-Qur`an, setelah al-Qur`an itu sendiri, kepada para
sahabat. Oleh karena itu, untuk menafsirkan al-Qur`an maka metode yang tepat
adalah mencari hadits yang berkaitan dengan ayat tersebut setelah tidak
didapatkan ayat al-Qur`an yang lain yang menjelaskan ayat tersebut. Apabila
memang tidak ada ayat dan atau hadis nabi Muhammad saw, maka yang dapat menafsirkan
sebuah ayat al-Qur`an yang digunakan adalah pendapat-pendapat para sahabat
karena mereka lebih tahu tentang asbaabun nuzuul dan tingkat keimanan
juga intelektualitasnya adalah yang tertinggi di kalangan pengikut Rasulullah
saw. Misalnya tafsir Thabari, sekalipun di dalamnya dia berijtihad dengan
menggunakan bahasa, sya’ir Arab, qira’at, ilmu nahwu, fiqh,
namun dia selalu memihak pada pendapat ulama shalaf dan kembali pada nash
al-Qur’an, maka tafsirnya masih dikatagorikan sebagai tafsir bi al-ma’tsur.[7]
Beberapa kitab tafsir bi
al-ma`tsur yang terkenal diantaranya tafsir Ibnu Abbas dengan judul
Tanwiirul Miqbas min Tafsiiri Ibn Abbas, tafsir at Thabari dengan judul
Jamii’ul Bayaan fii Tafsiiril Qur`an, tafsir Ibnu ‘Atiyyah dengan judul
Muharrarul Wajiiz fi Tafsiiril Kitaabil ‘Aziz, dan tafsir Ibnu Katsir dengan
judul Tafsiirul Qur`aanul ‘Azhiim.
Contoh Tafsir bi
al-Ma’tsur :
Menafsirkan
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Misalnya dalam surat
Al-Hajj: 30
وَاُحِلَّتْ
لَكُمُ اْلاَ نْعَا مُ اِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَا جْتَنِبُوا الرِّ جْسَ
مِنَ اْلاَوْ ثَا نِ وَاجْتَنِبُوْا قَوْ لَ الزُّوْرِ
“Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang
ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang
najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta”.
Kalimat ‘diterangkan kepadamu’ (illa ma yutla
‘alaikum) ditafsirkan dengan surat al-Maidah : 3
حُرِّ مَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّ مُ وَ
لَحْمُ الْخِنْزِ يْرِ وَمَآ اُ هِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ.....
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.... “
Menafsirkan
Al-Qur’an dengan As-Sunnah atau Hadits
Misalnya
dalam Surat Al-An’am ayat 82:
اَلَّذِيْنَ
اَمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْآ اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ اُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ
وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَع
“Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang
mendapat kemenangan dan mereka orang-orang yang mendapat petunjuk”[8]
Kata “al-zulm” dalam ayat tersebut, dijelaskan
oleh Rasul Allah saw dengan pengertian “al-syirk” (kemusyrikan).
Menafsirkan
Al-Qur’an dengan pendapat para sahabat
Misalnya
dalam surat an-Nisa’ ayat 2 :
Mengenai
penafsiran sahabat terhadap al-Qur’an ialah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan
Ibnu Halim dengan Sanad yang saheh dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang
menerangkan ayat ini:
وَآتُوا الْيَتَمَى اَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّ
لُوا الْخَبِيْثَ بِالطَّيِّبِصلى وَلَا تَأْكُلُوْا أَمْوَالَهُمْ إِلَى
أَمْوَالِكُمْ قلى إِنَّهُ كَانَ حُوْ بًاكَبِيْرًا
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang
sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan
jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan
(menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.”[9]
Kata ‘hubb’ ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dengan ‘dosa
besar’.
Menafsirkan
Al-Qur’an dengan pendapat para Tabi’in
Misalnya
dalam Surat Al-Fatihah:
...الصِّرَا طَ
الْمُسْتَقِيْمَ لا
Penafsiran
Mujahid bin Jabbar tentang ayat: Shiraat al-Mustaqim yaitu kebenaran.
Contoh
bukunya:
1) Jami
al-bayan fi tafsir Al-Qur’an, Muhammad B.
Jarir al. Thabari, W. 310 H. terkenal dengan tafsir Thabari
2) Bahr
al-Ulum, Nasr b. Muhammad al- Samarqandi, w. 373 H. terkenal dengan tafsir al-
Samarqandi.
3)
Ma’alim al-Tanzil, karya Al-Husayn bin Mas’ud al Baghawi, wafat tahun 510,
terkenal dengan tafsir al Baghawi.
b. Tafsir bi al-dirayah atau tafsir
bi ar-ra’yi
Secara bahasa ar-ra’yu
berarti al-i’tiqadu (keyakinan), al-‘aqlu (akal), dan at-tadbiru
(perenungan).[10]
Ahli Fikih yang sering berijtihad, biasa disebut sebagai ashab ar-ra’yi.
Karena itu tafsir bi ar-ra’yi disebut juga sebagai tafsir bi al-‘aqly
dan bi al-ijtihady, tafsir atas dasar nalar dan ijtihad.
Menurut
istilah, tafsir bi ar-ra’yi adalah upaya untuk memahami nash
al-Qur’an atas dasar ijtihad seorang ahli tafsir (mufassir) yang
memahami betul bahasa Arab dari segala sisinya, mengerti betul lafazh-lafazhnya
dan dalalah nya, mengerti sya’ir-sya’ir Arab sebagai dasar pemaknaan,
mengetahui betul asbab nuzul, mengerti nasikh dan mansukh
di dalam al-Qur’an, dan menguasai juga ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan seorang mufassir.
Maksud ijtihad disini adalah kesungguhan seorang mufassir untuk memahami
makna nash al-Qur’an, mengungkapkan maksud kata-katanya dan makna yang
terkandung di dalamnya.
Menurut Manna’ Khalil
Qaththan menafsirkan al-Qur`an dengan akal dan ijtihad semata tanpa ada dasar
yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan. Menurutnya, cara penafsiran
seperti ini dilakukan oleh mayoritas ahli bid’ah dan madzhab batil
dalam rangka melegitimasi golongannya dengan memelintir ayat-ayat al-Qur`an
agar sesuai dengan kehendak hawa nafsunya.
Corak Tafsir dengan ra’yi
(pikiran) dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
1). Tafsir dengan
pikiran yang tercela (madzmum).
Ialah bila mufassir dalam memahami pengertian kalimat yang khas dan
ministimbatkan hukum hanya dengan menggunakan pikirannya saja dan tidak sesuai
dengan ruh syari’at. Yang banyak menggunakan penafsiran bentuk ini ialah
tokoh-tokoh bid’ah yang menurut pikiran mereka saja. Umpamanya tafsir
Jabba’i, Rummani, Qadhi Abdul Jabbar, Zamakh Syari, dan Abdul Rahman bin Kisan
Ashmi.
2). Tafsir dengan
menggunakan pikiran yang terpuji (mahmudah)
a)
Ialah bila tidak bertentangan dengan tafsir ma’tsur.
b) Ia berbentuk ijtihad muqayyad
atau yang dikaitkan dengan satu kait berpikir mengenai kitab Allah menurut
hidayah sunnah Rasul yang mulia.
Sedangkan menurut Imam
Al-Dzahabi dalam menanggapi permasalahan ini beliau berkata, Tafsir bi ar-ra’yi
ada dua:
a). Dengan menggunakan
kaidah bahasa arab, akan tetapi tetap mengikuti al-Kitab dan sunnah serta tetap
mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini diperbolehkan.
b). Tidak memakai
kaidah bahasa arab dan kaidah-kaidah ilmu syari’at serta tidak mengikuti kaidah
ilmu tafsir. Dan hal ini sangat dibenci dan tidak di terima oleh para ulama’,
seperti yang di sampaikan oleh Ibnu Mas’ud: “akan ada suatu kaum yang mengajak
untuk memahami al-Qur’an, akan tetapi mereka tidak mengamalkannya. Maka wajib
bagi kalian untuk mendalami al-Qur’an, dan menjauhi segala bentuk bid’ah”.
Kitab-kitab tafsir bir
ra`yi diantaranya tafsir ar Razi yang berjudul Mafaatihul Ghaib, tafsir Ibnu
Hayyan yang berjudul Al Bahrul Muhiit, dan tafsir az Zamakhsyari yang berjudul
Al Kasysyaf ‘an Haqaa`iqit Tanziil wa ‘Uyuunil Aqaawiil fii Wujuuhit Tanwiil.
Contoh tafsir bi
ar-ra’yi
Misalnya
dalam surat al-Alaq: 2[11]
خَلَقَ اْلاِ نْسَا نَ مِنْ عَلَقٍ ج
“Khalaqal insaana min ‘alaq”
Kata ‘alaq’ disini diberi makna dengan bentuk
jamak dari lafaz ‘alaqah’ yang berarti ‘segumpal darah yang kental’.
c.
Tafsir bi
al-Isyarah
Tafsir bi al-Isyarah adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an
dengan isyarat-isyarat batin yang terpancar dari para sufi, pengikut tarekat
atau orang yang bersih hatinya.[12]
Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya menggunakan tafsir ini.
Sebagian membolehkan dan sebagian lainnya mengharamkan. Kelompok yang
membolehkan memberikan syarat :
a). Makna batinnya tidak bertentangan dengan makna zhahir
al-Qur’an.
b). Penafsirannya tidak mengklaim bahwa hanya penafsiran batinnya
yangpaling benar, seraya mengabaikan makna zhahirnya.
c). Penafsirannya tidak jauh melenceng dari makna dasarnya.
d). Hasil penafsirannya tidak bertentangan dengan hukum syar’i
maupun akal.
e). Hasil penafsirannya didukung dengan dalil-dalil syar’i lainnya.
Sementara
kelompok yang mengharamkan tafsir bi al-Isyarah menganggap bahwa tafsir
ini hanya berdasarkan asumsi-asumsi yang sangat subjektif sehingga hasil
penafsirannya jauh dari kebenaran dan pada titik tertentu berakibat pada
subjektivitas atau bahkan relativitas makna al-Qur’an.
Contoh Tafsir
bi al-Isyarah:
Misalnya dalam Surat Al-Baqoroh: 67[13]
....اِنَّ ا للهَ يَأْ مُرُ كُمْ اَ نْ تَذْ
بَحُوْابَقَرَةً قلى.... “…Innallaha ya`murukum an tadzbahuu baqarah…”
Yang mempunyai makna zhahir adalah
“……Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina…” Tetapi
dalam tafsir bi al-Isyarah diberi makna dengan “….Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah…”
3.
Urgensi
Tafsir
Sebelum mengetahui pentingnya peranan tafsir, terlebih dahulu ada
baiknya jika diketahui dahulu tujuan utama turunnya al-Qur’an. Dengan
mengetahui tujuan tersebut, akan diketahui pula betapa pentingnya peranan
tafsir untuk mengungkap kandungan al-Qur’an.
Menurut M.Quraish Shihab ada tiga tujuan pokok diturunkannya
al-Qur’an[14],
yaitu :
1). Petunjuk
akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpulkan dari
adanya iman kepada Allah dan hari akhir.
2). Petunjuk
mengenai akhlak yang murni yang harus diikuti.
3). Petunjuk
mengenai syariat dan hukum, baik kaitannya dengan Allah maupun dengan sesama
manusia.
Tujuan
ideal al-Qur’an itu sendiri tentu akan sulit dicapai apabila di dalam al-Qur’an
ternyata banyak hal-hal yang samar dan global. Untuk mengatasinya diperlukanlah
tafsir yang menjelaskan petunjuk ayat al-Qur’an. Banyak mufassir mengakui
besarnya peranan tafsir, antara lain :
1). Ahmad al-Syirbashi dalam bukunya Sejarah Tafsir al-Qur’an
menegaskan bahwa kedudukan tafsir sangat tergantung pada materi atau masalah
yang ditafsirkannya, karena materi tafsir adalah kitab suci al-Qur’an yang
memiliki kedudukan mulia, maka kedudukan tafsir pun amatlah mulia.[15]
2). Imam al-Zarkasyi dalam muqqadimah kitab al-Burhan fi‘Ulum
al-Qur’an menyebutkan bahwa perbuatan terbalik yang dilakukan oleh akal manusia
serta kemampuan berfikirnya yang tinggi adalah kegiatan mengungkapkan rahasia
yang terkandung dalam wahyu Ilahi dan menyingkapkan pentakwilannya yang benar
berdasarkan pengertian-pengertian yang kokoh dan tepat.[16]
3). Al-Ragib al-Ashfahani seperti yang dikutip Ahmad al-Syirbashi
menegaskan bahwa karya yang termulia ialah buah kesanggupan menafsirkan dan
mentakwilkan al-Qur’an.
4). M. Quraish Shihab menegaskan bahwa pemahaman terhadap ayat-ayat
al-Qur’an melalui penafsiran-penafsirannya mempunyai peranan yang sangat besar
bagi maju mundurnya umat. Sekaligus penafsiran-penafsiran itu dapat
mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.
5). Sementara itu, Dr.Abd.Muin Salim menyebutkan ada dua fungsi
tafsir al-Qur’an, yaitu: pertama, fungsi epistemologi yakni sebagai metode
pengetahuan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang informatif dan kedua,
pendayagunaan norma-norma kandungan al-Qur’an melalui tafsir.[17]
Maka setiap orang wajib berusaha mengetahui tafsir ayat-ayat
al-Qur’an agar tidak sebuah ayat pun yang tidak diketahui tafsirnya.
B.
Ta’wil
1.
Pengertian
Ta’wil
Ta’wil menurut bahasa
adalah kembali kepada asal atau menjelaskan suatu perkataan. Secara istilah,
ulama mutaakhkhirin mendefinisikan ta’wil dengan memalingkan lafazh dari makna
yang tersurat kepada makna yang tersirat karena ada dalil yang menghendakinya.
Sebagaimana doa Nabi kepada Bin Abbas[18] :
اللهم فقهه في الد ين و علمه التأ ويل
Kata ta’wil dalam surat
Ali ‘Imran (3):7 berbunyi :
وَ مَا يَعْلَمُ تَأْ وِ يْلَهُ إِ لَّا ا للهُ.... ....
“.... padahal tidak ada
yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah....”[19]
Menurut lughat ta’wil
adalah menerangkan dan menjelaskan. Adapun pengertian ta’wil menurut para ulama
yaitu sebagai berikut:
1). Menurut
Al-Jurzani, ta’wil adalah memalingkan satu lafazh dari makna lahirnya
terhadap makna yang dikandungnya, apabila makna alternatif yang dipandangnya
sesuai dengan ketentuan Al-kitab dan As-sunnah.
2). Menurut ulama
khalaf, ta’wil adalah mengalihkan suatu lafazh dari makna yang rajih pada makna
yang marjuh karena ada indikasi untuk itu.
3). Menurut ulama
salaf, ta’wil adalah menjelaskan makna asal suatu ayat atau kalimat yang ada
dalam al-Qur’an, sesuai dengan kaidah dasar dan berdasarkan penelitian yang
mendalam.
Ta’wil secara bahasa
berasal dari kata “aul”, yang berarti kembali ke asal. Adapun mengenai arti ta’wil
menurut istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) al-Qur’an
melalui pendekatan pemahaman arti yang dikandung oleh lafazh itu.[20] Dengan
kata lain, ta’wil berarti mengartikan lafazh dengan beberapa alternatif
kandungan makna yang bukan merupakan makna lahirnya.
Dari pengertian diatas
dapat disimpulkan ta’wil adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh
(ayat-ayat) al-Qur’an melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai
kandungan dari lafazh itu.
Karena fungsi ta’wil
dan tafsir sama-sama menjelaskan makna suatu ayat yang samar, maka ada kalangan
ulama yang menyamakan maksud tafsir dengan ta’wil. Di samping itu, terdapat
pula ulama yang membedakannya, seperti al-Rghib al-Ashfahani, Ibn Manshur,
al-Maturidi dan Abu Thalib al-Taghlibi.[21] Mereka
berpendapat bahwa tafsir lebih umum dibandingkan ta’wil, sebab tafsir umumnya
berfungsi menerangkan maksud yang terkandung dalam susunan kalimat. Ta’wil
digunakan untuk menjelaskan pengertian kitab-kitab suci, sedangkan tafsir
selain fungsi demikian juga berfungsi menerangkan hal-hal yang lainnya.
2.
Klasifikasi
Ta’wil
Dari penggunaan kata ta’wil dalam ayat, dapat diklasifikasikan tiga
macam :
a.
Takwil
li al-Qaul (ta’wil perkataan) : makna sebuah perkataan dan hakekat yang
dimaksudkan. Dalam bahasa Arab, perkataan dibagi menjadi 2 makna, yaitu :
- Ta’wil Amr : mengerjakan apa yang diperintahkan. Contohnya hadits
riwat Aisyah radhiyallah ‘anha.
- Ta’wil Ikhbar : terjadi suatu peristiwa sebagaimana yang
dikabarkan. Contohnya firman Allah swt QS. Al-A’raf ayat 53[22] :
هَلْ يَنْظُرُ
وْ نَ اِلاَّ تَأْوِ يْلَهُ قلى يَوْ مَ يَأْ تِيْ تَأْ وِيْلُهُ
يَقُوْلُ الَّذِ يْنَ نَسُوْ هُ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَآ ءَ تْ رُسُلُ رَبِّنَا بِا
لْحَقِّ ج
Allah mengabarkan akan datangnya hari kiamat, sedangkan manusia
menunggu ta’wil (terjadinya) yang dikabarkan al-Qur’an.
b.
Ta’wil
li al-fi’l (ta’wil perbuatan) : seperti yang telah dikatakan oleh sahabat Nabi
Musa as, setelah melubangi perahu tanpa seizin pemiliknya, membunuh seorang
anak dan menanyakan kembali bangunan roboh QS.Al-Kahfi ayat 82.
c.
Ta’wil
li ar-ru’ya (ta’wil mimpi) : ta’wil seperti yang dilakukan nabi Yusuf as QS.
Yusuf ayat 6 dan sebaliknya pada ayat 100.[23]
....وَيُعَلِّمُكَ مِنْ تَأْ وِيْلِ اْلاَ حَا
دِ يْثِ.... “ ..... dan diajarkan-Nya kepadamu sebagian
dari takwil mimpi-mimpi.....”
.....وَ قَالَ يَآَ بَتِ هَذَا تَأْوِ يْلُ رُءْ يَا يَ مِنْ
قَبْلُ....
“.....dan Yusuf berkata,”Hai ayahku, inilah takwil mimpiku yang
dahulu itu...”
3.
Contoh
Ta’wil
Q.S Al-An’am : 95[24]
اِنَّ اللهَ فَا لِقُ الْحَبِّ وَالنَّوَى قلى يُخْرِ جُ الْحَيَّ
مِنَ الْمَيِّتِ وَ مُخْرِ جُ الْمَيِّتِ مِنَ الْحَيِّ قلى ذَ لِكُمُ
اللهُ فَاَ نَّى تُؤْ فَكُوْ نَ
“Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan
dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (yang memiliki sifat-sifat) demikian
ialah Allah, Maka Mengapa kamu masih berpaling?”
Dari ayat diatas maka dapat di ta’wilkan bahwa jika kita katakan bahwa yang
dikehendaki oleh ayat ini, mengeluarkan burung dari telur, dinamailah ia
tafsir. Dan jika dikatakan bahwa yang dikehendaki, mengeluarkan yang ‘alim dari
yang bodoh, atau yang beriman dari yang kafir, dinamailah ta’wil.[25]
4. Urgensi Ta’wil
-
Menerangkan
makna ayat-ayat al-Qur’an
-
Sebagai
sarana untuk memahami al-Qur’an
C.
Terjemah
1.
Pengertian
Terjemah
Secara harfiah, terjemah berarti menyalin atau memindahkan suatu
pembicaraan sari suatu bahasa ke bahasa lain, atau singkatnya
mengalihbahasakan. Sedangkan terjemahan berarti salinan bahasa, atau alih
bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain. Terjemah, yang dalam bahasa Inggris
dikenal dengan istilah translation, dan di dalam literatur Arab dikenal
dengan tarjamah, ialah usaha menyalin atau menggantikan satu bahasa
melalui bahasa lain supaya dipahami oleh orang lain yang tidak mampu memahami
bahasa asal atau aslinya.[26] Arti
terjemah menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah salinan dari satu
bahasa ke bahasa lain, atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu
bahasa ke bahasa lain.[27] Sedangkan
menurut istilah seperti yang dikemukakan oleh Ash-Shabuni: “Memindahkan bahasa
al-Qur’an ke bahasa lain yang bukan bahasa ‘Arab dan mencetak terjemah ini kebeberapa
naskah agar dibaca orang yang tidak mengerti bahasa ‘Arab, sehingga dapat
memahami kitab Allah SWT, dengan perantaraan terjemahan.”
Secara lafazh tarjamah
dalam bahasa Arab memiliki arti mengalihkan pembicaraan (kalam) dari satu
bahasa ke bahasa lain. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam kitab Lisa
al-’Arab:
Yang dimaksud dengan
turjuman (dengan menggunakan dhammah) atau tarjuman (dengan fathah) adalah yang
menterjemahkan kalam (pembicaraan), yaitu memindahkannya dari satu bahasa ke
bahasa yang lain.
Sedangkan pengertian
tarjamah secara terminologis, sebagaimana didefinisikan oleh Muhammad ‘Abd
al-’Azhim al Zarqani sebagai berikut:
Tarjamah ialah
mengungkapkan makna kalam (pembicaraan) yang terkandung dalam suatu bahasa
dengan kalam yang lain dan dengan menggunakan bahasa yang lain (bukan bahasa
pertama), lengkap dengan semua makna-maknanya dan maksud-maksudnya.
2.
Klasifikasi Terjemah
Pada dasarnya ada tiga corak
penerjemahan, yaitu:
1). Terjemah maknawiyyah tafsiriyyah, yaitu menerangkan makna atau
kalimat dan mensyarahkannya, tidak terikat oleh leterlek-nya, melainkan oleh
makna dan tujuan kalimat aslinya (sinonim dengan tafsir)
2). Terjamah harfiyah bi Al-mistli, yaitu menyalin atau mengganti
kata-kata dari bahasa asli dengan kata sinonimnya (muradif) ke dalam bahasa
baru dan terikat oleh bahasa aslinya.
3). Terjemah harfiyah bi dzuni Al-mistl, yaitu menyalin atau
mengganti kata-kata bahasa asli kedalam bahasa lain dengan memperhatikan urutan
makna dan segi sastranya.[28]
Sesuai
dengan pengertian terjemah yang telah dibahas sebelum ini, terjemah lazim
dibedakan ke dalam dua macam :
1). Terjemah harfiah atau Terjemah lafzhiah :
terjemah yang dilakukan dengan apa adanya, bergantung dengan susunan dan
struktur bahasa asal yang diterjemahkan. Dan terjemah harfiah dibedakan menjadi
dua model.
a. Terjemah harfiah bi al-mitsl : terjemah yang dilakukan apa adanya, terikat dengan susunan dan struktur bahasa
asal yang diterjemahkan.
b. Terjemah harfiah bighair al-mitsl : terjemah yang pada dasarnya sama dengan terjemah harfiah bi
al-mitsl, hanya saja sedikit lebih longgar keterangannya dari susunan dan
struktur bahasa asal yang diterjemahkan.
2). Terjemah tafsiriah atau Terjemah maknawiyah :
terjemahan yang dilakukan mutarjim dengan lebih mengedepankan maksud atau isi
kandungan yang terkandung dalam bahasa asal yang diterjemahkan. Terjemah ini
tidak amat terikat dengan susunan dan struktur gaya bahasa yang diterjemahkan.
Maka dari sini kita tahu bahwa terjemah harfiah atau terjemah
lafzhiah begitu identik dengan terjemah leterlek atau terjemah lurus
dalam bahasa Indonesia, yakni terjemahan yang dilakukan dengan cara menyalin
kata demi kata, atau word for word translation, sedangkan terjemah tafsiriah
atau terjemah maknawiyah termasuk terjemahan bebas yang lebih
mengedepankan pencapaian maksudnya.
Sebagai ilustrasi, perhatikan terjemahan ayat:
وَلاَ تَجْعَلْ يَدَ كَ مَغْلُو لَةً إِ لَى عُنُقِكَ وَلاَ
تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُو مًا مَحْسُو
رًا
Jika ayat tersebut diterjemahkan secara harfiah, maka pengertiannya
berarti Allah melarang seseorang membelenggu atau mengikat tangannya di atas
pundaknya. Padahal, yang dimaksud oleh ayat 29 surat Al-Isra’ (17) di atas adalah
larangan bersikap pelit dalam membelanjakan harta di samping melarang bersikap
boros.[29]
Contoh lain ketika menerjemahkan ayat :
إِنَّ رَبَّكَ لَبِا لْمِرْ صَا دِ
Apabila diartikan secara harfiah, maka pemahamannya Allah selalu
mengintai-intai hamba-hamba-Nya. Padahal, yang dikehendaki oleh ayat ini ialah
bahwa Allah senantiasa mengingatkan hamba-Nya untuk tidak bersikap lengah dalam
mempersiapkan diri sebaik mungkin dalam kehidupannya.[30]
Secara umum,
syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam tarjamah, baik tarjamah harfiyah
maupun tarjamah tafsiriyah adalah:
a.
Penerjemah memahami
tema yang terdapat dalam kedua bahasa, baik bahasa pertama maupun bahasa
terjemahnya.
b.
Penerjemah memahami
gaya bahasa (uslub) dan ciri-ciri khusus atau karakteristik dari kedua bahasa
tersebut.
c.
Hendaknya dalam
terjemahan terpenuhi semua makna dan maksud yang dikehendaki oleh bahasa
pertama.
d.
Hendaknya bentuk
(sighat) terjemahan lepas dari bahasa pertama (ashl). Seolah-olah tidak ada
lagi bahasa pertama melekat dalam bahasa terjemah tersebut.
3.
Urgensi
Terjemah
- Untuk memudahkan membaca isi dari al-Qur’an.
- Menerangkan
makna ayat-ayat al-Qur’an.
- Sebagai sarana untuk memahami al-Qur’an
- Sebagai sarana untuk memahami al-Qur’an
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tafsir adalah menjelaskan hal-hal
yang masih samar yang dikandung dalam ayat al-Qur’an sehingga dengan mudah
dapat di mengerti untuk mengeluarkan hukum yang terkandung di dalamnya agar
diterapkan dalam kehidupan sebagai suatu ketentuan hukum. Dengan klasifikasinya
yaitu tafsir bi al-isyarah, tafsir bi al-ra’yi, dan tafsir bi
al-ma’tsur. Ta’wil adalah memalingkan lafazh dari
makna yang tersurat kepada makna yang tersirat karena ada dalil yang
menghendakinya agar dengan mudah dapat menerangkan
makna ayat-ayat al-Qur’an. Terjemah adalah menyalin atau memindahkan suatu pembicaraan sari
suatu bahasa ke bahasa lain, atau singkatnya mengalihbahasakan untuk memudahkan
membaca isi dari al-Qur’an, maka untuk memudahkan pembaca al-Qur’an terjemah
dibagi menjadi dua yaitu Terjemah harfiah dan Terjemah tafsiriah.
B.
Saran
Untuk selanjutnya, setelah menguraikan tentang tafsir, ta’wil, dan
terjemah, penulis berharap agar pembaca mempelajari materi ini lebih mendalam,
dan memperoleh ilmu di dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
“Konsep Ta’wil
dalam Islam”. Blogspot (online), (http://inpasonline.com/new/konsep-ta’wil-dalam-islam/,
diakses tanggal 15 September 2014 pukul 21.08).
“Pengertian
dan Perbedaan Tafsir”. Blogspot (online), 2013, (http://mt4info.blogspot.com/2013/01/paper-pengertian-dan-perbedaan-tafsir.html, di
akses tanggal 12 September 2014).
Al-Qur’an
Al-Zarkasyi,
Al-Imam ‘Abdullah. Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an. Mesir: Dar al-Ihya’
al-Kutub al-‘Arabi,1957.
Anshori.
Ulumul Qur’an:Kaidah-kaidah memahami firman tuhan. Jakarta: Rajawali
Pers,2013.
Hani.
“Pengertian Tafsir, Ta’wil, dan Terjemah”. Wordpress (online), 2013, (http://haniehisyam.wordpress.com/2013/06/02/tafsir-tawil-dan-terjemaha-pengertian-tafsir-tawil-dan/, di
akses tanggal 12 September 2014).
Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) di akses tanggal 12 September 2014
Salim,
Muin. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: TERAS,2005.
Suma,
Muhammad Amin. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2013.
Ushama,
Thamem. Metodologi Tafsir Al-Qur’an. Jakarta: Riora Cipta,2000.
[1] Muin Salim, Metodologi
Ilmu Tafsir (Yogyakarta: TERAS, 2005), 26.
[2] Ibid., 27.
[3] Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), 12 September 2014.
[4] Anshori, Ulumul
Qur’an:Kaidah-kaidah memahami firman Tuhan (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 172.
[5] Ibid., 173.
[6] Ibid., 173-174.
[7] Ibid., 174.
[8] QS. Al-An’am
(6) : 82.
[9] QS. an-Nisa’
(4) : 2.
[10] Anshori, Ulumul
Qur’an:Kaidah-kaidah memahami firman Tuhan (Jakarta: Rajawali Pers,
2013), 174.
[11] QS. al-Alaq
(96) : 2.
[12] Anshori, Ulumul
Qur’an:Kaidah-kaidah memahami firman Tuhan (Jakarta: Rajawali Pers,
2013), 175.
[13] QS. Al-Baqoroh
(2) : 67.
[14] Muin Salim, Metodologi
Ilmu Tafsir (Yogyakarta: TERAS,2005), 33.
[15] Ibid., 34.
[16] Al-Imam
‘Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an (Mesir: Dar al-Ihya’
al-Kutub al-‘Arabi,1957), 2-3.
[17] Muin Salim, Metodologi
Ilmu Tafsir (Yogyakarta: TERAS,2005), 35.
[18] Anshori, Ulumul
Qur’an:Kaidah-kaidah memahami firman Tuhan ( Jakarta: Rajawali Pers,2013),
173.
[20] (http://mt4info.blogspot.com/2013/01/paper-pengertian-dan-perbedaan-tafsir.html), 12 September
2014.
[21] Muin Salim, Metodologi
Ilmu Tafsir (Jakarta: Teras, 2005), 29.
[22] QS. Al-A’raf
(7) : 53.
[25] Thamem Ushama,
Metodologi Tafsir Al-Qur’an (Jakarta: Riora Cipta,2000),43.
[26] Muhammad Amin,
Ulumul Qur’an (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), 112.
[27] Ibid.,112.
[28] Hani, (http://haniehisyam.wordpress.com/2013/06/02/tafsir-tawil-dan-terjemaha-pengertian-tafsir-tawil-dan/), 12 September
2014.
[29] Muhammad Amin
Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), 115.
[30] Ibid., 115.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar