What You See is What You Get..

Rabu, 19 November 2014

TAFSIR, TAKWIL, DAN TERJEMAH


Hei...Hei..Hei... buat kalian yang lagi sibuk dengan tugas yang berhubungan dengan Ulumul Qur'an..tenang..jangan sedih dan jangan berbingung ria, karena disinilah tempatnya anda akan mendapatkan pencerahan tentang Apa sih Tafsir, Apa sih Ta'wil dan Terjemah...
Daaaaan semoga bermanfaat yaaaa...

A.    Latar Belakang

Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa dulunya kehidupan manusia merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan dan hanya karena suatu kedengkian maka terjadilah perselisihan yang berlanjut secara terus menerus. Di sisi lain, dengan lajunya perkembangan penduduk dan pesatnya perkembangan masyarakat, muncullah persoalan-persoalan baru yang memerlukan penyelesaian. Untuk menjawab keadaan itu, Allah mengutus para Rasul yang berfungsi sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Bersama diutusnya Rasul, diturunkan pula al-Kitab yang berfungsi menyelesaikan perselisihan dan menemukan jalan keluar dari berbagai masalah yang dihadapi manusia. Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia ke jalan yang diridhai Allah dan berfungsi pula sebagai pencari jalan keluar dari kegelapan menuju alam terang benderang. Fungsi ideal al-Qur’an itu dalam realitasnya tidak begitu saja dapat diterapkan, akan tetapi membutuhkan pemikiran dan analisis yang mendalam. Dalam upaya pemusatan pemikiran dan analisis dalam menetapkan sekaligus ketentuan hukum yang dikandung dalam al-Qur’an maka diperlukanlah penafsiran, ta’wil serta terjemah terhadap ayat-ayat al-Qur’an.




B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana pengertian dari Tafsir, Ta’wil, dan Terjemah ?
2.      Bagaimana klasifikasi dari Tafsir, Ta’wil, dan Terjemah ?
3.      Apa urgensi dari mempelajari Tafsir, Ta’wil, dan Terjemah ?

C.    Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui pengertian dari Tafsir, Ta’wil, dan Terjemah.
2.      Untuk mengetahui klasifikasi dari Tafsir, Ta’wil, dan Terjemah.
3.      Untuk mengetahui urgensi dari mempelajari Tafsir, Ta’wil, dan Terjemah.













BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tafsir
1.      Pengertian Tafsir
Istilah tafsir di dalam al-Qur’an dapat dilihat pada surat al-Furqan (25) : 33 yang berbunyi :
وَلَايَأْتُوْنَكَ بِمَثَلٍ إِلَّ جِئْنَكَ بِا لْحَقِّ وَاَحْسَنَ تَفْسِيْرًا
“ Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penafsirannya (penjelasannya).”[1]
Secara harfiyah, kata tafsir yang berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk masdar dari kata fassara serta terdiri dari huruf fa, sin dan ra itu berarti keadaan jelas (nyata dan terang) dan memberikan penjelasan.[2] Tafsir menurut bahasa artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tafsir adalah keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat al-Qur’an yang dimaksud agar lebih mudah dipahami.[3]  Adapun pengertian tafsir menurut para ulama yaitu sebagai berikut:
a.       Menurut Al-Kilabi, tafsir adalah menjelaskan al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki dengan nashnya atau dengan isyaratnya atau tujuannya.
  1. Menurut Syekh Al-Jazairi, tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafadz yang sukar dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafadz sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu dialah lafadz tersebut.
  2. Menurut Az-Zarkasyi, tafsir adalah ilmu tentang turunnya ayat al-Qur’an, surat-suratnya, kisah-kisahnya, isyarat-isyarat yang turun bersamanya, makkiyah dan madaniyahnya, muhkam dan mustasyabihatnya, nasikh dan mansukhnya, ‘am dan khasnya, muthlaq dan muqayyadnya serta mujmal dan mufashalnya, dan lain-lain.[4]
  3. Menurut Abu Hayyan, tafsir adalah ilmu mengenai cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an serta cara mengungkapkan petunjuk, kandungan-kandungan hukum, dan makna yang terkandung di dalamnya.
  4. Adz-Dzahabi mendefinisikan tafsir sebagai penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah Swt. sesuai dengan kemampuan manusia.[5]  
Jadi dapat disimpulkan bahwa tafsir bermakna menjelaskan hal-hal yang masih samar yang dikandung dalam ayat al-Qur’an sehingga dengan mudah dapat di mengerti, mengeluarkan hukum yang terkandung di dalamnya untuk diterapkan dalam kehidupan sebagai suatu ketentuan hukum.
2.      Klasifikasi Tafsir

Secara umum para ulama telah mengklasifikasikan tafsir menjadi tiga macam yaitu: Tafsir bi al-riwayah atau disebut juga dengan tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al-dirayah atau disebut juga dengan tafsir bi al-ra’yi, dan tafsir bi al-isyarah.
a.         Tafsir bi al-Ma’tsur
            Al-ma’tsur berarti sesuatu yang diriwayatkan. Secara istilah tafsir bi al-ma’tsur adalah penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran al-Qur’an dengan hadis Nabi Saw., penafsiran al-Qur’an dengan perkataan sahabat, penafsiran al-Qur’an dengan tabi’in.[6]
Semua ayat-ayat al-Qur`an telah dijelaskan oleh nabi Muhammad saw, sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam menafsirkan al-Qur`an, setelah al-Qur`an itu sendiri, kepada para sahabat. Oleh karena itu, untuk menafsirkan al-Qur`an maka metode yang tepat adalah mencari hadits yang berkaitan dengan ayat tersebut setelah tidak didapatkan ayat al-Qur`an yang lain yang menjelaskan ayat tersebut. Apabila memang tidak ada ayat dan atau hadis nabi Muhammad saw, maka yang dapat menafsirkan sebuah ayat al-Qur`an yang digunakan adalah pendapat-pendapat para sahabat karena mereka lebih tahu tentang asbaabun nuzuul dan tingkat keimanan juga intelektualitasnya adalah yang tertinggi di kalangan pengikut Rasulullah saw. Misalnya tafsir Thabari, sekalipun di dalamnya dia berijtihad dengan menggunakan bahasa, sya’ir Arab, qira’at, ilmu nahwu, fiqh, namun dia selalu memihak pada pendapat ulama shalaf dan kembali pada nash al-Qur’an, maka tafsirnya masih dikatagorikan sebagai tafsir bi al-ma’tsur.[7]
Beberapa kitab tafsir bi al-ma`tsur yang terkenal diantaranya tafsir Ibnu Abbas dengan judul Tanwiirul Miqbas min Tafsiiri Ibn Abbas, tafsir at Thabari dengan judul Jamii’ul Bayaan fii Tafsiiril Qur`an, tafsir Ibnu ‘Atiyyah dengan judul Muharrarul Wajiiz fi Tafsiiril Kitaabil ‘Aziz, dan tafsir Ibnu Katsir dengan judul Tafsiirul Qur`aanul ‘Azhiim.

Contoh Tafsir bi al-Ma’tsur :
Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Misalnya dalam surat Al-Hajj: 30
وَاُحِلَّتْ لَكُمُ اْلاَ نْعَا مُ اِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَا جْتَنِبُوا الرِّ جْسَ مِنَ اْلاَوْ ثَا نِ وَاجْتَنِبُوْا قَوْ  لَ الزُّوْرِ
“Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya  maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta”.
Kalimat ‘diterangkan kepadamu’ (illa ma yutla ‘alaikum) ditafsirkan dengan surat al-Maidah : 3
حُرِّ مَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّ مُ وَ لَحْمُ الْخِنْزِ يْرِ وَمَآ اُ هِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ.....     
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.... “
Menafsirkan Al-Qur’an dengan As-Sunnah atau Hadits
Misalnya dalam Surat Al-An’am ayat 82:

اَلَّذِيْنَ اَمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْآ اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ اُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَع
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan dan mereka orang-orang yang mendapat petunjuk”[8]
Kata “al-zulm” dalam ayat tersebut, dijelaskan oleh Rasul Allah saw dengan pengertian “al-syirk” (kemusyrikan).
Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat para sahabat
Misalnya dalam surat an-Nisa’ ayat 2 :
Mengenai penafsiran sahabat terhadap al-Qur’an ialah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Halim dengan Sanad yang saheh dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menerangkan ayat ini:
وَآتُوا الْيَتَمَى اَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّ لُوا الْخَبِيْثَ بِالطَّيِّبِصلى وَلَا تَأْكُلُوْا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ قلى إِنَّهُ كَانَ حُوْ بًاكَبِيْرًا                
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.”[9]
Kata ‘hubb’ ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dengan ‘dosa besar’.
Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat para Tabi’in
Misalnya dalam Surat Al-Fatihah:
...الصِّرَا طَ الْمُسْتَقِيْمَ لا                                                                                                                                        
Penafsiran Mujahid bin Jabbar tentang ayat: Shiraat al-Mustaqim yaitu kebenaran.
Contoh bukunya:
1) Jami al-bayan fi tafsir Al-Qur’an, Muhammad B. Jarir al. Thabari, W. 310 H. terkenal dengan tafsir Thabari
2) Bahr al-Ulum, Nasr b. Muhammad al- Samarqandi, w. 373 H. terkenal dengan tafsir al- Samarqandi.
3) Ma’alim al-Tanzil, karya Al-Husayn bin Mas’ud al Baghawi, wafat tahun 510, terkenal dengan tafsir al Baghawi.

b.       Tafsir bi al-dirayah atau tafsir bi ar-ra’yi
            Secara bahasa ar-ra’yu berarti al-i’tiqadu (keyakinan), al-‘aqlu (akal), dan at-tadbiru (perenungan).[10] Ahli Fikih yang sering berijtihad, biasa disebut sebagai ashab ar-ra’yi. Karena itu tafsir bi ar-ra’yi disebut juga sebagai tafsir bi al-‘aqly dan bi al-ijtihady, tafsir atas dasar nalar dan ijtihad.
     Menurut istilah, tafsir bi ar-ra’yi adalah upaya untuk memahami nash al-Qur’an atas dasar ijtihad seorang ahli tafsir (mufassir) yang memahami betul bahasa Arab dari segala sisinya, mengerti betul lafazh-lafazhnya dan dalalah nya, mengerti sya’ir-sya’ir Arab sebagai dasar pemaknaan, mengetahui betul asbab nuzul, mengerti nasikh dan mansukh di dalam al-Qur’an, dan menguasai juga ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan seorang mufassir. Maksud ijtihad disini adalah kesungguhan seorang mufassir untuk memahami makna nash al-Qur’an, mengungkapkan maksud kata-katanya dan makna yang terkandung di dalamnya.
Menurut Manna’ Khalil Qaththan menafsirkan al-Qur`an dengan akal dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan. Menurutnya, cara penafsiran seperti ini dilakukan oleh mayoritas ahli bid’ah dan madzhab batil dalam rangka melegitimasi golongannya dengan memelintir ayat-ayat al-Qur`an agar sesuai dengan kehendak hawa nafsunya.
Corak Tafsir dengan ra’yi (pikiran) dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
1). Tafsir dengan pikiran yang tercela (madzmum).
     Ialah bila mufassir dalam memahami pengertian kalimat yang khas dan ministimbatkan hukum hanya dengan menggunakan pikirannya saja dan tidak sesuai dengan ruh syari’at. Yang banyak menggunakan penafsiran bentuk ini ialah tokoh-tokoh bid’ah yang menurut pikiran mereka saja. Umpamanya tafsir Jabba’i, Rummani, Qadhi Abdul Jabbar, Zamakh Syari, dan Abdul Rahman bin Kisan Ashmi.
2). Tafsir dengan menggunakan pikiran yang terpuji (mahmudah)
     a) Ialah bila tidak bertentangan dengan tafsir ma’tsur.
     b) Ia berbentuk ijtihad muqayyad atau yang dikaitkan dengan satu kait berpikir mengenai kitab Allah menurut hidayah sunnah Rasul yang mulia.
Sedangkan menurut Imam Al-Dzahabi dalam menanggapi permasalahan ini beliau berkata, Tafsir bi ar-ra’yi ada dua:
a). Dengan menggunakan kaidah bahasa arab, akan tetapi tetap mengikuti al-Kitab dan sunnah serta tetap mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini diperbolehkan.
b). Tidak memakai kaidah bahasa arab dan kaidah-kaidah ilmu syari’at serta tidak mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini sangat dibenci dan tidak di terima oleh para ulama’, seperti yang di sampaikan oleh Ibnu Mas’ud: “akan ada suatu kaum yang mengajak untuk memahami al-Qur’an, akan tetapi mereka tidak mengamalkannya. Maka wajib bagi kalian untuk mendalami al-Qur’an, dan menjauhi segala bentuk bid’ah”.
Kitab-kitab tafsir bir ra`yi diantaranya tafsir ar Razi yang berjudul Mafaatihul Ghaib, tafsir Ibnu Hayyan yang berjudul Al Bahrul Muhiit, dan tafsir az Zamakhsyari yang berjudul Al Kasysyaf ‘an Haqaa`iqit Tanziil wa ‘Uyuunil Aqaawiil fii Wujuuhit Tanwiil.
Contoh tafsir bi ar-ra’yi
Misalnya dalam surat al-Alaq: 2[11]
خَلَقَ اْلاِ نْسَا نَ مِنْ عَلَقٍ ج                                                                                                    Khalaqal insaana min ‘alaq
Kata ‘alaq’ disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz ‘alaqah’ yang berarti ‘segumpal darah yang kental’.
c.         Tafsir bi al-Isyarah
Tafsir bi al-Isyarah adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan isyarat-isyarat batin yang terpancar dari para sufi, pengikut tarekat atau orang yang bersih hatinya.[12] Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya menggunakan tafsir ini. Sebagian membolehkan dan sebagian lainnya mengharamkan. Kelompok yang membolehkan memberikan syarat :
a). Makna batinnya tidak bertentangan dengan makna zhahir al-Qur’an.
b). Penafsirannya tidak mengklaim bahwa hanya penafsiran batinnya yangpaling benar, seraya mengabaikan makna zhahirnya.
c). Penafsirannya tidak jauh melenceng dari makna dasarnya.
d). Hasil penafsirannya tidak bertentangan dengan hukum syar’i maupun akal.
e). Hasil penafsirannya didukung dengan dalil-dalil syar’i lainnya.
Sementara kelompok yang mengharamkan tafsir bi al-Isyarah menganggap bahwa tafsir ini hanya berdasarkan asumsi-asumsi yang sangat subjektif sehingga hasil penafsirannya jauh dari kebenaran dan pada titik tertentu berakibat pada subjektivitas atau bahkan relativitas makna al-Qur’an.  
Contoh Tafsir bi al-Isyarah:
Misalnya dalam Surat Al-Baqoroh: 67[13]
....اِنَّ ا للهَ يَأْ مُرُ كُمْ اَ نْ تَذْ بَحُوْابَقَرَةً قلى....                                                           “…Innallaha ya`murukum an tadzbahuu baqarah…”
Yang mempunyai makna zhahir adalah “……Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina…” Tetapi dalam tafsir bi al-Isyarah diberi makna dengan “….Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah…”
3.      Urgensi Tafsir
Sebelum mengetahui pentingnya peranan tafsir, terlebih dahulu ada baiknya jika diketahui dahulu tujuan utama turunnya al-Qur’an. Dengan mengetahui tujuan tersebut, akan diketahui pula betapa pentingnya peranan tafsir untuk mengungkap kandungan al-Qur’an.
Menurut M.Quraish Shihab ada tiga tujuan pokok diturunkannya al-Qur’an[14], yaitu :
1). Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpulkan dari adanya iman kepada Allah dan hari akhir.
2). Petunjuk mengenai akhlak yang murni yang harus diikuti.
3). Petunjuk mengenai syariat dan hukum, baik kaitannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia.
Tujuan ideal al-Qur’an itu sendiri tentu akan sulit dicapai apabila di dalam al-Qur’an ternyata banyak hal-hal yang samar dan global. Untuk mengatasinya diperlukanlah tafsir yang menjelaskan petunjuk ayat al-Qur’an. Banyak mufassir mengakui besarnya peranan tafsir, antara lain :
1). Ahmad al-Syirbashi dalam bukunya Sejarah Tafsir al-Qur’an menegaskan bahwa kedudukan tafsir sangat tergantung pada materi atau masalah yang ditafsirkannya, karena materi tafsir adalah kitab suci al-Qur’an yang memiliki kedudukan mulia, maka kedudukan tafsir pun amatlah mulia.[15]
2). Imam al-Zarkasyi dalam muqqadimah kitab al-Burhan fi‘Ulum al-Qur’an menyebutkan bahwa perbuatan terbalik yang dilakukan oleh akal manusia serta kemampuan berfikirnya yang tinggi adalah kegiatan mengungkapkan rahasia yang terkandung dalam wahyu Ilahi dan menyingkapkan pentakwilannya yang benar berdasarkan pengertian-pengertian yang kokoh dan tepat.[16]
3). Al-Ragib al-Ashfahani seperti yang dikutip Ahmad al-Syirbashi menegaskan bahwa karya yang termulia ialah buah kesanggupan menafsirkan dan mentakwilkan al-Qur’an.
4). M. Quraish Shihab menegaskan bahwa pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an melalui penafsiran-penafsirannya mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya umat. Sekaligus penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.
5). Sementara itu, Dr.Abd.Muin Salim menyebutkan ada dua fungsi tafsir al-Qur’an, yaitu: pertama, fungsi epistemologi yakni sebagai metode pengetahuan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang informatif dan kedua, pendayagunaan norma-norma kandungan al-Qur’an melalui tafsir.[17]
Maka setiap orang wajib berusaha mengetahui tafsir ayat-ayat al-Qur’an agar tidak sebuah ayat pun yang tidak diketahui tafsirnya.


B.     Ta’wil
1.    Pengertian Ta’wil
Ta’wil menurut bahasa adalah kembali kepada asal atau menjelaskan suatu perkataan. Secara istilah, ulama mutaakhkhirin mendefinisikan ta’wil dengan memalingkan lafazh dari makna yang tersurat kepada makna yang tersirat karena ada dalil yang menghendakinya. Sebagaimana doa Nabi kepada Bin Abbas[18] :
اللهم فقهه في الد ين و علمه التأ ويل
Kata ta’wil dalam surat Ali ‘Imran (3):7 berbunyi :
وَ مَا يَعْلَمُ تَأْ وِ يْلَهُ إِ لَّا ا للهُ.... ....
“.... padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah....”[19]
Menurut lughat ta’wil adalah menerangkan dan menjelaskan. Adapun pengertian ta’wil menurut para ulama yaitu sebagai berikut: 
1). Menurut  Al-Jurzani, ta’wil adalah memalingkan satu lafazh dari makna lahirnya terhadap makna yang dikandungnya, apabila makna alternatif yang dipandangnya sesuai dengan ketentuan Al-kitab dan As-sunnah.
2). Menurut ulama khalaf, ta’wil adalah mengalihkan suatu lafazh dari makna yang rajih pada makna yang marjuh karena ada indikasi untuk itu.
3). Menurut ulama salaf, ta’wil adalah menjelaskan makna asal suatu ayat atau kalimat yang ada dalam al-Qur’an, sesuai dengan kaidah dasar dan berdasarkan penelitian yang mendalam.
Ta’wil secara bahasa berasal dari kata “aul”, yang berarti kembali ke asal. Adapun mengenai arti ta’wil menurut istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) al-Qur’an melalui pendekatan pemahaman arti yang dikandung oleh lafazh itu.[20] Dengan kata lain, ta’wil berarti mengartikan lafazh dengan beberapa alternatif kandungan makna yang bukan merupakan makna lahirnya.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan ta’wil adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) al-Qur’an melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai kandungan dari lafazh itu.
Karena fungsi ta’wil dan tafsir sama-sama menjelaskan makna suatu ayat yang samar, maka ada kalangan ulama yang menyamakan maksud tafsir dengan ta’wil. Di samping itu, terdapat pula ulama yang membedakannya, seperti al-Rghib al-Ashfahani, Ibn Manshur, al-Maturidi dan Abu Thalib al-Taghlibi.[21] Mereka berpendapat bahwa tafsir lebih umum dibandingkan ta’wil, sebab tafsir umumnya berfungsi menerangkan maksud yang terkandung dalam susunan kalimat. Ta’wil digunakan untuk menjelaskan pengertian kitab-kitab suci, sedangkan tafsir selain fungsi demikian juga berfungsi menerangkan hal-hal yang lainnya.
2.    Klasifikasi Ta’wil
Dari penggunaan kata ta’wil dalam ayat, dapat diklasifikasikan tiga macam :
a.         Takwil li al-Qaul (ta’wil perkataan) : makna sebuah perkataan dan hakekat yang dimaksudkan. Dalam bahasa Arab, perkataan dibagi menjadi 2 makna, yaitu :
-       Ta’wil Amr : mengerjakan apa yang diperintahkan. Contohnya hadits riwat Aisyah radhiyallah ‘anha.
-       Ta’wil Ikhbar : terjadi suatu peristiwa sebagaimana yang dikabarkan. Contohnya firman Allah swt QS. Al-A’raf ayat 53[22] :
هَلْ يَنْظُرُ وْ نَ اِلاَّ تَأْوِ يْلَهُ قلى يَوْ مَ يَأْ تِيْ تَأْ وِيْلُهُ يَقُوْلُ الَّذِ يْنَ نَسُوْ هُ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَآ ءَ تْ رُسُلُ رَبِّنَا بِا لْحَقِّ ج                                             
Allah mengabarkan akan datangnya hari kiamat, sedangkan manusia menunggu ta’wil (terjadinya) yang dikabarkan al-Qur’an.
b.         Ta’wil li al-fi’l (ta’wil perbuatan) : seperti yang telah dikatakan oleh sahabat Nabi Musa as, setelah melubangi perahu tanpa seizin pemiliknya, membunuh seorang anak dan menanyakan kembali bangunan roboh QS.Al-Kahfi ayat 82.
c.         Ta’wil li ar-ru’ya (ta’wil mimpi) : ta’wil seperti yang dilakukan nabi Yusuf as QS. Yusuf ayat 6 dan sebaliknya pada ayat 100.[23]
....وَيُعَلِّمُكَ مِنْ تَأْ وِيْلِ اْلاَ حَا دِ يْثِ....                                                                                                             “ ..... dan diajarkan-Nya kepadamu sebagian dari takwil mimpi-mimpi.....”

.....وَ قَالَ يَآَ بَتِ هَذَا تَأْوِ يْلُ رُءْ يَا يَ مِنْ قَبْلُ....                   
“.....dan Yusuf berkata,”Hai ayahku, inilah takwil mimpiku yang dahulu itu...”





3.    Contoh Ta’wil
Q.S Al-An’am : 95[24]
اِنَّ اللهَ فَا لِقُ الْحَبِّ وَالنَّوَى قلى يُخْرِ جُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَ مُخْرِ جُ الْمَيِّتِ مِنَ الْحَيِّ قلى ذَ لِكُمُ اللهُ فَاَ نَّى تُؤْ فَكُوْ نَ                             
 “Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah Allah, Maka Mengapa kamu masih berpaling?”
Dari ayat diatas maka dapat di ta’wilkan bahwa jika kita katakan bahwa yang dikehendaki oleh ayat ini, mengeluarkan burung dari telur, dinamailah ia tafsir. Dan jika dikatakan bahwa yang dikehendaki, mengeluarkan yang ‘alim dari yang bodoh, atau yang beriman dari yang kafir, dinamailah ta’wil.[25]
4.    Urgensi Ta’wil
-            Menerangkan makna ayat-ayat al-Qur’an
-            Sebagai sarana untuk memahami al-Qur’an

C.    Terjemah
1.      Pengertian Terjemah
Secara harfiah, terjemah berarti menyalin atau memindahkan suatu pembicaraan sari suatu bahasa ke bahasa lain, atau singkatnya mengalihbahasakan. Sedangkan terjemahan berarti salinan bahasa, atau alih bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain. Terjemah, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah translation, dan di dalam literatur Arab dikenal dengan tarjamah, ialah usaha menyalin atau menggantikan satu bahasa melalui bahasa lain supaya dipahami oleh orang lain yang tidak mampu memahami bahasa asal atau aslinya.[26] Arti terjemah menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah salinan dari satu bahasa ke bahasa lain, atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain.[27] Sedangkan menurut istilah seperti yang dikemukakan oleh Ash-Shabuni: “Memindahkan bahasa al-Qur’an ke bahasa lain yang bukan bahasa ‘Arab dan mencetak terjemah ini kebeberapa naskah agar dibaca orang yang tidak mengerti bahasa ‘Arab, sehingga dapat memahami kitab Allah SWT, dengan perantaraan terjemahan.”
Secara lafazh tarjamah dalam bahasa Arab memiliki arti mengalihkan pembicaraan (kalam) dari satu bahasa ke bahasa lain. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam kitab Lisa al-’Arab: 
Yang dimaksud dengan turjuman (dengan menggunakan dhammah) atau tarjuman (dengan fathah) adalah yang menterjemahkan kalam (pembicaraan), yaitu memindahkannya dari satu bahasa ke bahasa yang lain.
Sedangkan pengertian tarjamah secara terminologis, sebagaimana didefinisikan oleh Muhammad ‘Abd al-’Azhim al Zarqani sebagai berikut:
Tarjamah ialah mengungkapkan makna kalam (pembicaraan) yang terkandung dalam suatu bahasa dengan kalam yang lain dan dengan menggunakan bahasa yang lain (bukan bahasa pertama), lengkap dengan semua makna-maknanya dan maksud-maksudnya.
2.    Klasifikasi Terjemah
            Pada dasarnya ada tiga corak penerjemahan, yaitu:
1). Terjemah maknawiyyah tafsiriyyah, yaitu menerangkan makna atau kalimat dan mensyarahkannya, tidak terikat oleh leterlek-nya, melainkan oleh makna dan tujuan kalimat aslinya (sinonim dengan tafsir)
2). Terjamah harfiyah bi Al-mistli, yaitu menyalin atau mengganti kata-kata dari bahasa asli dengan kata sinonimnya (muradif) ke dalam bahasa baru dan terikat oleh bahasa aslinya.
3). Terjemah harfiyah bi dzuni Al-mistl, yaitu menyalin atau mengganti kata-kata bahasa asli kedalam bahasa lain dengan memperhatikan urutan makna dan segi sastranya.[28]
Sesuai dengan pengertian terjemah yang telah dibahas sebelum ini, terjemah lazim dibedakan ke dalam dua macam :
1). Terjemah harfiah atau Terjemah lafzhiah : terjemah yang dilakukan dengan apa adanya, bergantung dengan susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan. Dan terjemah harfiah dibedakan menjadi dua model.
a. Terjemah harfiah bi al-mitsl            : terjemah yang dilakukan apa adanya,    terikat dengan susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan.
b. Terjemah harfiah bighair al-mitsl    : terjemah yang pada dasarnya sama dengan terjemah harfiah bi al-mitsl, hanya saja sedikit lebih longgar keterangannya dari susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan.
2). Terjemah tafsiriah atau Terjemah maknawiyah : terjemahan yang dilakukan mutarjim dengan lebih mengedepankan maksud atau isi kandungan yang terkandung dalam bahasa asal yang diterjemahkan. Terjemah ini tidak amat terikat dengan susunan dan struktur gaya bahasa yang diterjemahkan.
Maka dari sini kita tahu bahwa terjemah harfiah atau terjemah lafzhiah begitu identik dengan terjemah leterlek atau terjemah lurus dalam bahasa Indonesia, yakni terjemahan yang dilakukan dengan cara menyalin kata demi kata, atau word for word translation, sedangkan terjemah tafsiriah atau terjemah maknawiyah termasuk terjemahan bebas yang lebih mengedepankan pencapaian maksudnya.
Sebagai ilustrasi, perhatikan terjemahan ayat:
وَلاَ تَجْعَلْ يَدَ كَ مَغْلُو لَةً إِ لَى عُنُقِكَ وَلاَ تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ                                                                                فَتَقْعُدَ مَلُو مًا مَحْسُو رًا
Jika ayat tersebut diterjemahkan secara harfiah, maka pengertiannya berarti Allah melarang seseorang membelenggu atau mengikat tangannya di atas pundaknya. Padahal, yang dimaksud oleh ayat 29 surat Al-Isra’ (17) di atas adalah larangan bersikap pelit dalam membelanjakan harta di samping melarang bersikap boros.[29] Contoh lain ketika menerjemahkan ayat :
إِنَّ رَبَّكَ لَبِا لْمِرْ صَا دِ
Apabila diartikan secara harfiah, maka pemahamannya Allah selalu mengintai-intai hamba-hamba-Nya. Padahal, yang dikehendaki oleh ayat ini ialah bahwa Allah senantiasa mengingatkan hamba-Nya untuk tidak bersikap lengah dalam mempersiapkan diri sebaik mungkin dalam kehidupannya.[30]
Secara umum, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam tarjamah, baik tarjamah harfiyah maupun tarjamah tafsiriyah adalah:
a.                        Penerjemah memahami tema yang terdapat dalam kedua bahasa, baik bahasa pertama maupun bahasa terjemahnya.
b.                       Penerjemah memahami gaya bahasa (uslub) dan ciri-ciri khusus atau karakteristik dari kedua bahasa tersebut.
c.                        Hendaknya dalam terjemahan terpenuhi semua makna dan maksud yang dikehendaki oleh bahasa pertama.
d.                       Hendaknya bentuk (sighat) terjemahan lepas dari bahasa pertama (ashl). Seolah-olah tidak ada lagi bahasa pertama melekat dalam bahasa terjemah tersebut.
3.    Urgensi Terjemah
- Untuk memudahkan membaca isi dari al-Qur’an.
- Menerangkan makna ayat-ayat al-Qur’an.
- Sebagai sarana untuk memahami al-Qur’an























BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Tafsir adalah menjelaskan hal-hal yang masih samar yang dikandung dalam ayat al-Qur’an sehingga dengan mudah dapat di mengerti untuk mengeluarkan hukum yang terkandung di dalamnya agar diterapkan dalam kehidupan sebagai suatu ketentuan hukum. Dengan klasifikasinya yaitu tafsir bi al-isyarah, tafsir bi al-ra’yi, dan tafsir bi al-ma’tsur. Ta’wil adalah memalingkan lafazh dari makna yang tersurat kepada makna yang tersirat karena ada dalil yang menghendakinya agar dengan mudah dapat menerangkan makna ayat-ayat al-Qur’an. Terjemah adalah menyalin atau memindahkan suatu pembicaraan sari suatu bahasa ke bahasa lain, atau singkatnya mengalihbahasakan untuk memudahkan membaca isi dari al-Qur’an, maka untuk memudahkan pembaca al-Qur’an terjemah dibagi menjadi dua yaitu Terjemah harfiah dan Terjemah tafsiriah.

B.  Saran
Untuk selanjutnya, setelah menguraikan tentang tafsir, ta’wil, dan terjemah, penulis berharap agar pembaca mempelajari materi ini lebih mendalam, dan memperoleh ilmu di dalam makalah ini.





DAFTAR PUSTAKA


“Konsep Ta’wil dalam Islam”. Blogspot (online), (http://inpasonline.com/new/konsep-ta’wil-dalam-islam/, diakses tanggal 15 September 2014 pukul 21.08).
“Pengertian dan Perbedaan Tafsir”. Blogspot (online), 2013, (http://mt4info.blogspot.com/2013/01/paper-pengertian-dan-perbedaan-tafsir.html, di akses tanggal 12 September 2014).
Al-Qur’an
Al-Zarkasyi, Al-Imam ‘Abdullah. Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an. Mesir: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabi,1957.
Anshori. Ulumul Qur’an:Kaidah-kaidah memahami firman tuhan. Jakarta: Rajawali Pers,2013.
Hani. “Pengertian Tafsir, Ta’wil, dan Terjemah”. Wordpress (online), 2013, (http://haniehisyam.wordpress.com/2013/06/02/tafsir-tawil-dan-terjemaha-pengertian-tafsir-tawil-dan/, di akses tanggal 12 September 2014).
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) di akses tanggal 12 September 2014
Salim, Muin. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: TERAS,2005.
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2013.
Ushama, Thamem. Metodologi Tafsir Al-Qur’an. Jakarta: Riora Cipta,2000.


[1] Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: TERAS, 2005), 26.
[2] Ibid., 27.
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 12 September 2014.
[4] Anshori, Ulumul Qur’an:Kaidah-kaidah memahami firman Tuhan (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),  172.
[5] Ibid., 173.
[6] Ibid., 173-174.
[7] Ibid., 174.
[8] QS. Al-An’am (6) : 82.
[9] QS. an-Nisa’ (4) : 2.
[10] Anshori, Ulumul Qur’an:Kaidah-kaidah memahami firman Tuhan (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),  174.
[11] QS. al-Alaq (96) : 2.
[12] Anshori, Ulumul Qur’an:Kaidah-kaidah memahami firman Tuhan (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),  175.
[13] QS. Al-Baqoroh (2) : 67.
[14] Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: TERAS,2005), 33.
[15] Ibid., 34.
[16] Al-Imam ‘Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an (Mesir: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabi,1957), 2-3.
[17] Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: TERAS,2005), 35.
[18] Anshori, Ulumul Qur’an:Kaidah-kaidah memahami firman Tuhan ( Jakarta: Rajawali Pers,2013), 173.
[19] QS. Ali ‘Imran (3):7.
[21] Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir (Jakarta: Teras, 2005), 29.
[22] QS. Al-A’raf (7) : 53.
[24] QS. Al-An’am (6) : 95.
[25] Thamem Ushama, Metodologi Tafsir Al-Qur’an (Jakarta: Riora Cipta,2000),43.
[26] Muhammad Amin, Ulumul Qur’an (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), 112.
[27] Ibid.,112.
[29] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), 115.
[30] Ibid., 115.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar