Saya itu baru pertama ini mendapatkan pelajaran seperti ini, sejak kecil sampai SMA sya belum pernah sekolah yang berembel-embel agama. Baru kuliah ini saya merasakannya..dan rasanya subhanallah.. banyak sekali manfaat nya, dan saya bisa melihat betapa luasnya dunia ini, dulu kalau masih sekolah di sekolah umum saya mati-matian menghafal rumus kimia,fisika, matematika dsb. Tetapi disini saya mati-matian menghafal ayat al-Qur'an dan Hadits.. Awesome !!! Oke ini adalah beberapa materi ulumul hadits mengenai pembagian hadits yang pernah saya presentasikan, alhamdulillah dengan adanya tugas ini saya jadi lebih paham Apa itu hadits dan teman-temannya..hehehe.. Emang sih pertama bingung, namanya juga lagi belajar, tapi setelah sedikit-sedikit tahu dan skarang banyak tahunya, jadi lebih mudah kok, TIDAK ADA YANG TIDAK MUNGKIN,JIKA KITA MAU BELAJAR. Remember !!! Oke silahkan dibaca aja deh, SEMOGA BERMANFAAT Yaaaa.... Hehehe
A.
Latar Belakang
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian
tentang kajian keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan
dalam ilmu hadits yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan
dipelajari, terutama masalah ilmu hadits.
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak
dan beragam. Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat
pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi
pandangan, bukan hanya segi pandangan saja. Misalnya hadits ditinjau dari segi
kuantitas dan kualitas jumlah perawinya.
Pembicaraan tentang pembagian hadits dilihat dari segi kuantitasnya
ini tidak terlepas dari pembahasan mengenai pembagian hadits ditinjau dari segi
kuantitasnya, yakni dibagi menjadi hadits mutawatir dan hadits ahad. Begitupun
dari segi kualitasnya, hadits dibagi menjadi tiga macam yakni hadits shahih,
hadits hasan, dan hadits dha’if.
Dari sinilah kami
ingin meninjau dan mengetahui lebih jauh mengenai pembagian hadits dari segi
jumlah perawinya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitas rawinya ?
2.
Bagaimana
pembagian hadits ditinjau dari segi kualitas rawinya ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitas rawinya.
2.
Untuk
mengetahui pembagian hadits ditinjau dari segi kualitas rawinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pembagian Hadits Ditinjau Dari Segi Kuantitas Rawinya
Ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadist,
ditinjau dari segi kuantitas atau jumlah
rawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka
ada yang mengelompokkan menjadi 3 bagian , yakni
Hadist Mutawatir , Masyhur , dan Ahad.
Dan ada juga yang membaginya hanya
menjadi dua, yakni Hadist Mutawatir dan Ahad. Ulama
golongan pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak
termasuk ke dalam hadits ahad, ini disponsori oleh sebagian ulama ushul seperti
diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua
diikuti oleh sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam
(mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits ynag
berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian dari hadits ahad. Maka dari
itu mereka membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.
1. Hadits Mutawatir
a.
Pengertian Hadits Mutawatir
Kata mutawatir, Menurut lughat ialah mutatabi
yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.[1]
Sedangkan menurut istilah ialah Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.[2]
Sedangkan menurut istilah ialah Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.[2]
الحَدِ
يْثُ المُتَوَا تِرُ هُوَالَّذِ ى رَوَاهُ جَمْعُ كَثِيْرٌ يُؤْ مَنُ تَوَا طُؤُ
هُمْ عَلَى الكِذْ بِ عَنْ مِثْلِهِمْ اِلَى انْتِهَا السَّنَدِ وَ كَا نَ
مُسْتَنَدُ هُمْ الحِسَّ.
Artinya:
"Hadits mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad dan semuanya bersandar kepada pancaindra."[3]
"Hadits mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad dan semuanya bersandar kepada pancaindra."[3]
Kata-kata jam’ katsir (sejumlah banyak rawi) artinya jumlah itu tidak dibatasi
dengan bilangan, melainkan dibatasi dengan jumlah yang secara rasional tidak
mungkin mereka bersepakat untuk berdusta. Demikian pula, mustahil mereka
berdusta atau lupa secara serentak. Sebagian ulama cenderung membatasi jumlah
mereka dengan bilangan. Oleh karena itu, sebagian pendapat menyatakan apabila
jumlah mereka telah mencapai 70 orang, maka hadisnya dinilai mutawatir. Mereka
berpegang kepada firman Allah Swt.
وَا خْتَارَ مُوْ سَى قَوْ مَهُ سَبْعِيْنَ رَ جُلً لمٍيْقَا
تِنَا
Dan Musa
memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada
waktu yang telah kami tentukan. (QS Al-A’raf [7] : 155)
Kata-kata
عَنْ مِشْلِهِمْ اِلَى انْتِهَا
السَّنَدِ (dari
sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad)
mengecualikan hadis ahad pada sebagian tingkatnya lalu diriwayatkan oleh jumlah
rawi mutawatir.[4]
Jadi hadis yang disebut terakhir bukan hadis mutawatir. Contohnya hadis :
اِنَّمَا
الاَ عْمَا لَ بِا لنِّيَّا تِ
Awal
sanad hadis ini adalah ahad, tetapi pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir.
Oleh karena itu, hadis ini tidak dapat disebut mutawatir.
Kata-kata
وَكَا نَ مُسْتَنَدُ هُمْ الحِسَّ (dan sandaran mereka adalah pancaindra)
mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan kepada akal, seperti
pernyataan tentang keesaan Allah. Kata-kata di atas juga mengecualikan
pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahwa satu itu
separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah
akal, bukan berita.[5]
Contoh
hadis mutawatir :
مَنْ
كَذَ بَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَلَهُ مِنَ النَّا رِ.
Barang
siapa berbuat dusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menempati
tempat tinggalnya di neraka.
Hadis
ini diriwayatkan dari Nabi Saw. Dengan redaksi yang sama oleh 70 orang sahabat
lebih.
Contoh
lainnya adalah hadis :
نَزَلَ
القُرْآ نُ عَلَ سَبْعَةِ اَحْرُ فٍ
Al-Qur’an
itu diturunkan atas tujuh huruf.
Hadis
ini diriwayatkan oleh 27 orang sahabat.
b.
Kriteria Hadits Mutawatir
Berdasarkan
definisinya ada 4 kriteria hadits mutawatir[6], yaitu
sebagai berikut:
1). Diriwayatkan sejumlah orang banyak
Para perawi hadis mutawatir syaratnya harus berjumlah banyak. Para ulama
berbeda pendapat tentang jumlah banyak pada para perawi hadis tersebut dan
tidak ada pembatasan yang tetap. Di antara mereka berpendapat 4 orang, 5 orang,
10 orang, 40 orang, 70 orang bahkan ada yang berpendapat 300 orang lebih.
Namun, pendapat yang terpilih minimal 10 orang seperti pendapat Al-Ishthikhari.
2). Adanya jumlah banyak pada
seluruh tingkatan sanad
Jumlah banyak orang pada setiap tingkatan (thabaqat) sanad dari awal sampai
akhir sanad. Jika jumlah banyak tersebut hanya pada sebagian sanad saja maka
tidak dinamakan mutawatir, tetapi dinamakan ahad atau wahid.
3). Mustahil bersepakat bohong
Di antara alasan pengingkar sunnah dalam penolakan mutawatir adalah
pencapaian jumlah banyak tidak menjamin dihukumi mutawatir karena dimungkinkan
adanya kesepakatan berbohong. Hal ini karena mereka menganalogikan dengan
realita dunia modern dan kejujurannya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan,
apalagi jika ditunggangi masalah politik dan lain-lain. Demikian halnya belum
dikatakan mutawatir karena sekalipun sudah mencapai jumlah banyak tetapi masih
memungkinkan untuk berkosensus berbohong.
4). Sandaran berita itu pada pancaindra
Maksud sandaran pancaindra adalah berita itu didengar dengan telinga atau
dilihat dengan mata dan disentuh dengan kulit, tidak disandarkan pada logika
atau akal seperti tentang sifat barunya alam, berdasarkan kaedah logika; Setiap
yang baru itu berubah (Kullu hadis in mutghayyirun). Alam berubah (al-alamu
mutaghayyirun). Jika demikian, Alam adalah baru (al-alamu hadis un). Baru
artinya sesuatu yang diciptakan bukan wujud dengan sendirinya. Jika berita
hadits itu logis, maka tidak mutawatir.
c. Pembagian Hadits
Mutawatir
Para
ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
1) Hadits
Mutawatir Lafzi
Muhadditsin
memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain : Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para
rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya. Pengertian lain
hadits mutawatir lafzi adalah Suatu yang diriwayatkan
dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi.
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :
مَنْ
كَذَ بَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَلَهُ مِنَ النَّا رِ.
"Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka."
"Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka."
Hadits
mutawatir lafzi adalah mutawatir dengan susunan redaksi yang persis sama atau
satu redaksi. Dengan demikian garis besar serta perincian maknanya tentu sama
pula, juga dipandang sebagai hadis mutawatir lafdhi, hadis mutawatir dengan
susunan sedikit berbeda, karena sebagian digunakan kata-kata muradifnya
(kata-kata yang berbeda tetapi jelas sama makna atau maksudnya). Sehingga garis
besar dan perincian makna hadits itu tetap sama.
2) Hadits
mutawatir maknawi
Hadits
mutawatir maknawi adalah Hadis yang berlainan bunyi
lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna
yang umum (Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan
perbedaan pada lafaz). Adapun pengertian yang lain, hadis mutawatir maknawi
adalah suatu hadis yang diriwayatkan oleh banyak rawi yang mustahil berbuat
dusta atau berdusta keseluruhan secara kebetulan.[7] Mereka meriwayatkan berbagai peristiwa dengan berbagai
ragam ungkapan, tetapi intinya sama, seperti mengangkat tangan dalam berdoa.
Tindakan Nabi Saw. Ini diriwayatkan dalam seratus hadis, tetapi dalam berbagai
kejadian yang berbeda-beda. Contoh : "Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua
tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa' dan beliau
mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya." (HR.
Bukhari Muslim)
Hadis
yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari
30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang
ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi : "Rasulullah
SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau."
Contoh
hadits mutawatir maknawi : “Rasulullah SAW pada waktu berdoa tidak
mengangkat kedua tangannya begitu tinggi sehingga terlihat kedua ketiaknya yang
putih, kecuali pada waktu berdoa memohon hujan”. (Hadis Riwayat Mutafaq’
Alaihi)
Jadi
hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang
para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut, namun terdapat
persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.
3) Hadis
Mutawatir Amali
Hadis Mutawatir Amali adalah sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal
dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya
atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu. Contoh
: Kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat
sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang
diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad
SAW melakukannya atau memerintahkannya demikian.
Di
samping pembagian hadis mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang
membagi hadis mutawatir menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis
mutawatir amali ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya
hadis mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir
maknawi.
d. Kedudukan Hadits
Mutawatir
Kedudukan
hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam tinggi sekali. Menolak hadits
mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama halnya dengan menolak kedudukan Nabi
Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Kedudukan hadits mutawatir sebagai sumber
ajaran Islam lebih tinggi dari kedudukan hadis ahad.
Hadits
mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya
secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan
yang qath'i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW
benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh
rawi-rawi mutawatir.
Dengan
demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits
mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas
atau jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak
bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan
mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah
hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari
hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil
ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).
2. Hadits
Ahad
a. Pengertian Hadits Ahad
Menurut
Istilah ahli hadis adalah suatu hadis (khabar) yang
jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik
pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan
seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis
tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir. Ada juga yang memberikan
tarif sebagai berikut : suatu hadis yang padanya tidak
terkumpul syarat-syarat mutawatir.
b. Pembagian Hadits Ahad
Hadits Ahad sendiri dibagi menjadi 3 macam, yaitu :
1). Hadits Masyhur
Al-Syuhrah
(kemasyhuran) secara
etimologis berarti ‘tersebar’ dan ‘tersiar’. Adapun pengertian asy-syuhrah dalam kaitannya dengan hadits masyhur menurut istilah ahli
hadits yaitu menurut al-Hafizh Ibnu Hajar.
الحَدِ
يْثُ المَشْهُوْرُ مَا لَهُ طُرُ قٌ مَحْصُوْرَةٌ بِاَ كْثَرَ مِنْ اِثْنَيْنِ.
Hadits
masyhur adalah hadits yang memiliki sanad terbatas yang lebih dari dua.[8]
Kata-kata
لَهُ طُرُ قٌ مَحْصُوْرَةٌ mengecualikan hadits mutawatir, karena hadits
mutawatir itu tidak dibatasi dengan jumlah sanad tertentu, sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya. Yang terpenting dalam hadits mutawatir adalah
ketidakmungkinan adanya kesepakatan untuk berdusta, dan hal ini kadang-kadang
dapat dicapai dengan 10 rawi yang tsiqat sebagaimana dapat dicapai dengan
50 rawi yang tidak tsiqat. Kata-kata بِاَ
كْثَرَ مِنْ اِثْنَيْنِ
mengecualikan hadits gharib dan hadits ‘aziz. Sering muncul anggapan bahwa
hadits masyhur itu senantiasa sahih, karena sering kali seorang peneliti dengan
pandangan sepintas dapat terkecoh oleh berbilangnya rawi, yang mengesankan
kekuatan dan kesahihan sanad. Akan
tetapi para muhaddits tidak peduli dengan berbilangnya sanad apabila tidak
disertai sifat-sifat yang menjadikan sanad-sanad itu sahih atau saling
memperkuat sehingga dapat dipakai hujah.
Contoh
hadits masyhur :
المُسْلِمُ
اَخُو المُسْلِمِ
Setiap
muslim adalah saudara muslim yang lain.
2).
Hadits ‘Aziz
Asal
kata istilah ini menurut bahasa adalah kata عَزَّ
يَعَزُّ yang berarti ‘kuat’, sebagaimana difirmankan
Allah Swt.
فَعَزَّ
زْنَا بِثَا لِثٍ
Kemudian
kami kuatkan dengan (utusan) ketiga (QS Yasin [36] :14).
Pengertian
lain mengenai hadits ‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang
walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian
setelah itu orang-orang pada meriwayatkannya. Contoh hadits ‘aziz :
لاَيَؤْ
مِنُ اَ حَدُ كُمْ حَتَّى اَكُوْنَ اَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِ هِ
وَالنَّا سِ اَ جْمَعِيْنَ.
Tidak
sempurna iman salah seorang di antara kamu sebelum aku lebih dicintainya
daripada orang tuanya, anaknya, dan manusia seluruhnya.
Hadits
ini diriwayatkan oleh Syaikhani dari Anas, dan al-Bukhari meriwayatkannya
melalui jalan lain dari Abu Hurairah r.a. Hadits ini dari Anas diriwayatkan
oleh Qatadah dan Abdul Aziz bin Shuhaib. Dari Qatadah diriwayatkan oleh Syu’bah
dan Sa’id. Dari Abdul Aziz diriwayatkan oleh Ismail bin ‘Ulayyah dan Abdul
Warits. Dan dari masing-masing rawi terakhir ini diriwayatkan oleh jemaah.
3).
Hadits Gharib
Gharib
menurut bahasa adalah orang yang menyendiri, mengasingkan diri, atau orang yang
jauh dari sanak keluarganya. Menurut istilah muhadditsin, yang dimaksud dengan
hadits gharib adalah :
هُوَا
لحَدِ يْثُ الَّذِ ى تَفَرَّدَ بِهِ رَا وِيْهِ سَوَا ءٌ تَفَرَّ دَ بِهِ عَنْ
اِمَا مٍ يُجْمَعُ حَدِ يْثُهُ اَوْ عَنْ رَاوٍ غَيْرِ اِمَا مٍ.
Hadits
gharib adalah hadits yang rawinya menyendiri dengannya, baik menyendiri karena
jauh dari seorang imam yang telah disepakati haditsnya, maupun menyendiri
karena jauh dari rawi lain yang bukan imam sekalipun. Hadits yang demikian
dinamai gharib karena ia seperti orang asing yang menyendiri dan tidak ada
sanak keluarga di sisinya atau karena hadits tersebut jauh dari tingkat
masyhur, terlebih lagi tingkat mutawatir. Contoh hadits gharib sebagaimana
disebutkan oleh al-Turmudzi dalam al-Ilal, yaitu hadits Abu Musa
al-Asy’ari dari Nabi Saw[10], bahwa
beliau bersabda :
الكَا
فِرُ يَأْ كُلُ فِى سَبْعَةِ اَمْعَا ءَ وَالمُؤْ مِنُ يَأْ كُلُ فِى مِعًى وَا
حِدٍ.
Orang
kafir itu makan sepenuh tujuh usus, sedangkan orang yang beriman makan sepenuh
satu usus.
B.
Pembagian Hadits Ditinjau Dari Segi Kualitas Rawinya
1.
Hadits
Sahih
a.
Pengertian
Hadits Sahih
Ibnu shalah mengemukakan definisi hadis sahih, yaitu:
“Hadis sahih ialah hadis yang sanadnya bersambungan melalui
periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit pula,
sampai ujungnya, tidak syaz dan tidak mu’allal (terkena illat).[11]
Ajjaj al-Khatib memberikan definisi hadis shahih, yaitu:
“Hadis yang bersambungan sanadnya melalui periwayatan perawi tsiqah
dari perawi lain yang tsiqah pula sejak awal sampai ujungnya (rasulullah saw)
tanpa syuzuz tanpa illat”.
Para ulama telah memberikan definisi hadits sahih sebagai hadits
yang telah diakui dan disepakati kebenarannya oleh para ahli hadits.
الحَدِ
يْثُ الصَّحِيْحُ هُوَ الحَدِ يْثُ الَّذِ ى اِتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ العَدْ
لِ الضَّا بِطِ عَنِ العَدْ لِ الضَّا بِطِ اِ لَى مُنْتَهَا هُ وَلاَ يَكُوْنُ
شَا ذَّا وَلاَ مُعَلَّلَا .
Hadits sahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, yang
diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith dari rawi lain yang (juga) adil
dan dhabith sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak
mengandung cacat (illat).[12]
b.
Pembagian
Hadits Sahih
1).
Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua syarat-syarat atau
sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih li
Dzatihi” karena telah memenuhi semua syarat shahih,dan tidak butuh
dengan riwayat yang lain untuk sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya
telah tercapai dengan sendirinya. Contohnya adalah sabda Nabi Muhammad saw.,
"Tangan di atas (yang memberi) lebih baik dari tangan di bawah (yang
menerima)." (HR. Bukhori dan Muslim)
2). Shahih li ghairihi, yaitu hadis hasan li dzatihi
(tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi hadis maqbul),yang
diriwayatkan melalui sanad yang lain yang sama atau lebih kuat darinya,
dinamakan hadis shahih li ghairihi karena predikat keshahihannya diraih
melalui sanad pendukung yang lain. Contohnya sabda Nabi
Muhammad saw., "Kalau sekiranya tidak terlalu menyusahkan umatku untuk
mengerjakannya, maka aku perintahkan bersiwak (gosok gigi) setiap akan
sholat." (HR. Hasan)
c.
Kriteria Hadits Sahih
1). Hadis tersebut
shahih musnad, yakni sanadnya bersambung sampai yang teratas.
2). Hadis shahih
bukanlah hadis yang syaz yaitu rawi yang meriwayatkan memang terpercaya , akan
tetapi ia menyalahi rawi-rawi yang lain yang lebih tinggi.
3). Hadis shahih bukan hadis yang terkena ‘illat.
Illat ialah: sifat tersembunyi yang mengakibatkan hadis tersebut cacat
dalam penerimaannya, kendati secara zahirnya terhindar dari illat.
d.
Contoh Hadits Sahih
Hadits
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Mereka berkata :
حَدَّ
ثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ حَدَّ ثَنَا جَرِ يْرٌ عَنْ عُمَا رَ ةَ بْنِ
القَعْقَا عٍ عَنْ اَبِى زُرْ عَةَ عَنْ اَبِى هُرَ يْرَةَ قَا لَ , جَا ءَرَجُلٌ
اِلَى رَسُوْ لِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَا لَ : يَا رَ
سُوْلُ اللَّهِ مَنْ اَحَقُّ بِحُسْنِ صَحَا بَتِى ؟ قَا لَ : اُ مُّكَ . قَا لَ :
ثُمَّ مَنْ ؟ قَا لَ : اُمُّكَ . قَا لَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : اُمُّكَ . قَا لَ
: ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ ثُمَّ اَبُوْ كَ .
Meriwayatkan
kepada kami Qutaibah bin said, ia berkata : “Meriwayatkan kepada kami Jarir
dari ‘Umarah bin Al-Qa’qa’ dari Abu Zur’ah dari Abu Hurairah, ia berkata :
‘Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah Saw., lalu berkata : ‘Ya
Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuanku yang baik
?’ Rasulullah menjawab : ‘Ibumu’. Orang itu bertanya: ‘Kemudian siapa?’
Rasulullah menjawab : ‘Ibumu.’ Orang itu bertanya lagi: ‘Kemudian siapa?’
Rasulullah menjawab: ‘Ibumu’. Orang itu kembali bertanya: ‘Kemudian siapa?’
Rasulullah menjawab: ‘Kemudian bapakmu’.”
2.
Hadits Hasan
a. Pengertian
Hadits Hasan
الحَدِ
يْثُ الحَسَنُ هُوَ الحَدِ يْثُ الَّذِ ى اِتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ عَدْ لٍ
خَفَّ ضَبْطُهُ غَيْرُ شَا ذِّ وَ لاَ مُفَلَّلٍ .
Hadits
hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil,
yang rendah tingkat kekuatan daya hafalnya, tidak rancu dan tidak bercacat.
Hadis
hasan ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil
namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya) serta
terhindar dari Syaz dan illat.[13]
b. Kriteria
Hadits Hasan
1). Sanad hadis harus
bersambung
2). Perawinya adil.
3). Perawinya mempunyai sifat
dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi
hadis shahih.
4). Hadis yang diriwayatkan
tersebut tidak syaz.
5). Hadis yang diriwayatkan
terhindar dari illat yang merusak (qadihah).
c. Pembagian Hadits Hasan
1). Hadis hasan li dzatihi
Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan
sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan
tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
2). Hadis hasan li ghairihi
Hadits hasan lighairihi adalah suatu hadits yang meningkat kualitasnya
menjadi hadits hasan karena diperkuat oleh hadits lain. Jenis hadits inilah
yang dimaksud oleh Imam al-Turmudzi dalam definisinya tentang hadits hasan.
“ Hadits yang kami sebut sebagai hadits hasan dalam kitab kami adalah
hadits yang sanadnya baik menurut kami. Yaitu setiap hadits yang diriwayatkan
melalui sanad yang di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta;
matan haditsnya tidak janggal, diriwayatkan melalui sanad yang lain pula, yang
sederajat. Hadits yang demikian menurut kami adalah hadits hasan.”
Contoh Hadits Hasan lighairihi dari Jami’ al-Turmudzi, ia berkata :
حَدَّ ثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرِ حَدَّ ثَنَا حَفْصُ
بْنُ غِيَا ثٍ عَنْ حَجَّا جٍ عَنْ عَطِيَّةَ عَنِ بْنِ عَمَرَ قَا لَ : صَلَّيْتُ
مَعَ النَّبِيِّ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ فِى السَّفَرِ
رَكْعَتَيْنِ وَبَعْدَ هَا رَ كْعَتَيْنِ
Meriwayatkan hadits kepada kami, Ali bin Hujr, ia berkata, Meriwayatkan
hadits kepada kami Hafs bin Ghiyats dari Hajjaj dari ‘Athiyah dari Ibnu Umar,
ia berkata, “Aku salat Zuhur dua rakaat bersama Rasulullah Saw. Dalam suatu
perjalanan dan setelah itu salat dua rakaat lagi.”[14]
d. Contoh Hadits Hasan
Hadits yang
diriwayatkan Ahmad, ia berkata, “Yahya bin Said meriwayatkan hadits kepada kami
dari Bahz bin Hakim, ia mengatakan, ‘Meriwayatkan hadits kepadaku Bapakku dari
kakekku, katanya : Aku bertanya :
يَا رَ سُوْ
لَ اللَّهِ مَنْ اَبَرُّ ؟ قَا لَ : اُمَّكَ . قَا لَ قُلْتُ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَا
لَ : ثُمَّ أُ مَّكَ . قَا لَ قُلْتُ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَا لَ اُمَّكَ ثُمَّ اَبَا
كَ ثُمَّ الاَ قْرَ بَ .
“Ya Rasululloh, kepada siapakah aku harus berbakti ?”
Rasulullah menjawab, “Kepada ibumu.” Aku bertanya, “Lalu kepada siapa?”
Rasulullah menjawab, “Lalu kepada ibumu.” Aku bertanya, “Lalu kepada siapa?”
Rasulullah menjawab, “Ibumu kemudian bapakmu, kemudian kerabat terdekat dan
selanjutnya.”[15]
3.
Hadits
Dhaif
a.
Pengertian
Hadits Dhaif
Dha’if
menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Hadis dhaif menurut istilah adalah
“hadis yang didalamnya tidak didapati syarat hadis shahih dan tidak pula
didapati syarat hadis hasan.”
Definisi
yang paling baik untuk hadits dhaif adalah sebagai berikut :
مَا
فَقِدَ شَرْ طًا مِنْ شُرُ وْ طِ الحَدِ يْثِ المَقْبُوْ لِ .
Hadits
yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits makbul (yang dapat
diterima).[16]
b.
Pembagian
Hadits Dhaif
Dari segi keterputusan sanad, hadits dhoif terbagi menjadi lima macam:
·
hadits mursal, yaitu
hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in dengan menyebutkan ia menerimanya
langsung dari Nabi Muhammad saw., padahal tabi’in (generasi setelah sahabat)
tidaklah mungkin bertemu dengan nabi. Contohnya :
قال
مالك عن جعفر بن محمد عن أبيه أن رسول الله قضى باليمن والشاهد
Disini
Muhammad bin Ali Zainul Abidin tidak menyebutkan sahabat yang menjadi perantara
antara nabi dan bapaknya.
·
Hadits munqothi’ yaitu
hadits yang salah seorang rawinya gugur (tidak disebutkan namanya) tidak saja
pada sahabat, namun bisa terjadi pada rawi yang di tengah atau di akhir.
Contohnya :
ما
رواه عبد الرزاق عن الثورى عن أبى إسحاق عن زيد بن يثيع عن حذيفه مرفوعا إن
وليتموها أبا بكر فقوى أمين
Riwayat
yang sebenarnya adalah Abdul Razak meriwayatkan hadis dari Nukman bin Abi
Saybah al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadis
dari Abi Ishak, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari Zaid.
·
Hadits al-mu’adhdhol,
yaitu hadits yang dua orang atau lebih dari perawinya setelah sahabat secara
berurutan tidak disebutkan dalam rangkaian sanad. Contohnya :
Diriwayatkan oleh
al-Hakim dengan sanadnya kepada al-Qa’naby dari Malik bahwasanya dia
menyampaikan, bahwa Abu Hurairah berkata, rasulullah bersabda,
للمملوك
طعامه وكسوته بالمعروف ، لا يُكلّف من العمل إلا ما يُطيق
Al-Hakim berkata,”
hadis ini mu’dhal dari Malik dalam kitab al-Muwaththa’., Letak ke-mu’adalahan-nya karena
gugurnya dua perawi dari sanadnya yaitu Muhammad bin ‘Aljan, dari bapaknya.
Kedua perawi tersebut gugur secara berurutan.
·
Hadits mudallas, yaitu
hadits yang rawinya meriwayatkan hadits tersebut dari orang yang sezaman
dengannya, tetapi tidak menerimanya secara langsung dari yang bersangkutan;
·
Hadits mu’allal, yaitu
hadits yang kelihatannya selamat, tetapi sesungguhnya memiliki cacat yang
tersembunyi, baik pada sanad maupun pada matannya.
Diriwayatkan oleh
Bukhari:
قال
مالك عن الزهرى عن أبى سلمة عن أبى هريرة عن النبى "لا تفا ضلوا بين الأنبيأ
Dikatakan Muallaq
karena Imam bukhari langsung menyebut Imam Malik padahal ia dengan Imam Malik
tidak pernah bertemu.
c. Contoh Hadits Dhaif
Hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam kitab Sunan-nya: Meriwayatkan
kepada kami Abu Ahmad al-Marrar bin Hammuyah, katanya : meriwayatkan kepada
kami Muhammad bin al-Mushaffa, katanya : Meriwayatkan kepada kami Baqiyyah bin
Al-Walid dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Mi’dan dari Abu Umamah dari Nabi
Saw. Bahwa beliau berkata :
مَنْ قَا مَ لَيْلَتَى العِيْدَ يْنِ
يَحْتَسِبُ لِلَّهِ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْ مَ تَمُوْ تُ ا لَقُلُوْ بُ
“Barang siapa berdiri mengerjakan shalat pada malam dua hari raya
semata-mata karena Allah, maka tidak akan mati hatinya pada hari semua hati
mati.”[17]
4. Hadits Maudhu’
a. Pengertian Hadits Maudhu’
الحَدِ يْثُ المَوْ ضُوْ عُ هُوَ
المُخْتَلَقُ الْمَصْنُوْ عُ
Hadits Maudhu’ adalah hadits yang diada-adakan dan dibuat-buat.[18]
Yakni hadits yang disandarkan kepada Rasulullah Saw.
Dengan dusta dan tidak ada kaitan yang hakiki dengan Rasulullah.
Hadis ini adalah yang paling buruk dan jelek diantara hadis-hadis
dhaif lainnya. Selain ulama membagi hadis menjadi empat bagian: shahih, hasan,
dhaif dan maudhu’. Maka maudhu menjadi satu bagian tersendiri.[19]
b. Sejarah munculnya Hadits Maudhu’
Para ulama berbeda
pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadis, berikut pendapat
mereka[20]:
1). Menurut Ahmad Amin bahwa hadis maudhu’ terjadi
sejak masa rasulullah masih hidup.
2). Shalahuddin ad-Dabi mengatakan bahwa pemalsuan hadis berkenaan
dengan masalah keduniaan yang terjadi pada masa rasulullah saw.
3). Menurut jumhur al-muhaddin,
pemalsuan hadis terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
c. Sumber-sumber Hadits Maudhu’
1). Al- Maudhu’at karya al-Imam al-Hafizh Abul Faraj Abdurrahman bin
al-Jauzi (w.597 H)
2). Al-La’ali’ al-Mashnu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah karya al-Hafizh
Jalaluddin al-Suyuthi (w.911 H)
3). Tanzih al-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Ahadits al-Syani’ah al-Maudhu’ah
karya al-Hafizh Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Iraq al-Kannani (w. 963 H).
d. Contoh Hadits Maudhu’
اِنَّ اللَّهَ اِذَ ا غَضِبَ اِ
نْتَفَخَ عَلَى العَرْ شِ حَتَّى يَثْقُلَ عَلَى حَمَلَتِهِ
“Sesungguhnya
apabila Allah marah, maka ia meniup ‘Arasy sehingga terasa berat bagi
para malaikat penyangganya”.[21]
Hadits palsu ini
dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dan ia beranggapan bahwa rawinya adalah Ayyub bin
Abdissalam, seorang pendusta, dan hadits ini merupakan hasil kedustaan dan
rekadayanya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hadits dilihat dari segi kuantitas
perawinya dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu Hadits Mutawatir perawinya
dan Hadits Ahad. Sedangkan dilihat dari segi kualitas perawinya maka dapat
dibedakan menjadi empat macam, antara lain adalah Hadits Shahih, Hadits Hasan,
Hadits Dhaif, dan Hadits Maudhu’.
B.
Saran
Untuk selanjutnya, setelah
menguraikan pembagian hadits dilihat dari segi kuantitas dan kualitas rawi,
penulis berharap agar penulis lain membahas mengenai kriteria dan kehujjahan
dari hadits shahih, hasan, dan dhaif.
DAFTAR PUSTAKA
Nuruddin ‘Itr.’Ulumul Hadis.
Bandung. PT REMAJA ROSDAKARYA. 2012. Hal 428
http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/ulumul-hadits/allsub/99/ di akses tanggal 9 September
2014. adv@kawatama.com
http://jonikawijaya.wordpress.com/makalah/makalah-ulumul-hadits-pembagian-hadits/ di akses tanggal 9 September 2014
, Joni
Kawijaya
AL Farisi. “Hadits Shahih, Hasan, Dhaif, Maudhu”. http://ulivinalfaris.blogspot.com/p/pembagian-hadits.html di akses tanggal 20 September
2014.
[1]
http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/ulumul-hadits/allsub/99/, diakses pada tanggal 9 September 2014.
[2] Ibid,.
[3]Nuruddin ‘Itr,
”Ulumul Hadis” (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), 428.
[4] Ibid.,429
[5] Ibid.,429
[6]
http://jonikawijaya.wordpress.com/makalah/makalah-ulumul-hadits-pembagian-hadits/, diakses pada tanggal 9 September 2014 ,
[7] Nuruddin ‘Itr,
“Ulumul Hadis” (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), 431.
[8] Nuruddin ‘Itr,
“Ulumul Hadis” (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), 434.
[10] Ibid., 421
[11]
http://ulivinalfaris.blogspot.com/p/pembagian-hadits.html, diakses pada tanggal 20 September
2014.
[12] Nuruddin ‘Itr,
“Ulumul Hadis” (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), 240.
[13] http://ulivinalfaris.blogspot.com/p/pembagian-hadits.html, diakses pada tanggal 20 September 2014.
[14] Nuruddin ‘Itr,
“Ulumul Hadis” (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), 274.
[16] Ibid., 291
[17] Nuruddin ‘Itr,
“Ulumul Hadis” (Bandung :PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), 301.
[18] Ibid., 308.
[19]AL Farisi,
“Hadits Shahih,Hasan,Dhaif,Maudhu” (http://ulivinalfaris.blogspot.com/p/pembagian-hadits.html), diakses pada tanggal 20 September 2014
Setelah dipelajari secara seksama, Ternyata masih banyak informasi seputar kuantitas dan kualitas hadits yang belum dijelaskan.. untuk info tambahan,,, coba anda pelajari di artikel ni... http://www.tanjakan.com/aspek-kuantitas-dan-kualitas-hadits/
BalasHapus