What You See is What You Get..

Rabu, 19 November 2014

PEMBAGIAN HADIS DARI SEGI KUANTITAS DAN KUALITAS RAWI


Saya itu baru pertama ini mendapatkan pelajaran seperti ini, sejak kecil sampai SMA sya belum pernah sekolah yang berembel-embel agama. Baru kuliah ini saya merasakannya..dan rasanya subhanallah.. banyak sekali manfaat nya, dan saya bisa melihat betapa luasnya dunia ini, dulu kalau masih sekolah di sekolah umum saya mati-matian menghafal rumus kimia,fisika, matematika dsb. Tetapi disini saya mati-matian menghafal ayat al-Qur'an dan Hadits.. Awesome !!! Oke ini adalah beberapa materi ulumul hadits mengenai pembagian hadits yang pernah saya presentasikan, alhamdulillah dengan adanya tugas ini saya jadi lebih paham Apa itu hadits dan teman-temannya..hehehe.. Emang sih pertama bingung, namanya juga lagi belajar, tapi setelah sedikit-sedikit tahu dan skarang banyak tahunya, jadi lebih mudah kok, TIDAK ADA YANG TIDAK MUNGKIN,JIKA KITA MAU BELAJAR. Remember !!! Oke silahkan dibaca aja deh, SEMOGA BERMANFAAT Yaaaa.... Hehehe

A.    Latar Belakang

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu hadits yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu hadits.
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam. Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya segi pandangan saja. Misalnya hadits ditinjau dari segi kuantitas dan kualitas jumlah perawinya.
Pembicaraan tentang pembagian hadits dilihat dari segi kuantitasnya ini tidak terlepas dari pembahasan mengenai pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitasnya, yakni dibagi menjadi hadits mutawatir dan hadits ahad. Begitupun dari segi kualitasnya, hadits dibagi menjadi tiga macam yakni hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if.
Dari sinilah kami ingin meninjau dan mengetahui lebih jauh mengenai pembagian hadits dari segi jumlah perawinya.


B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitas rawinya ?
2.      Bagaimana pembagian hadits ditinjau dari segi kualitas rawinya ?


C.    Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitas rawinya.
2.      Untuk mengetahui pembagian hadits ditinjau dari segi kualitas rawinya.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pembagian Hadits Ditinjau Dari Segi Kuantitas Rawinya

Ulama  berbeda  pendapat  tentang  pembagian hadist,  ditinjau dari segi kuantitas  atau  jumlah rawi yang menjadi sumber  berita. Diantara mereka ada yang mengelompokkan  menjadi 3 bagian ,  yakni   Hadist  Mutawatir ,  Masyhur ,  dan Ahad.  Dan  ada  juga  yang  membaginya  hanya  menjadi  dua, yakni  Hadist  Mutawatir dan Ahad. Ulama golongan pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam hadits ahad, ini disponsori oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian dari hadits ahad. Maka dari itu mereka membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.
1. Hadits Mutawatir
a. Pengertian Hadits Mutawatir
Kata mutawatir, Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.[1]
Sedangkan menurut istilah ialah Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.[2]
الحَدِ يْثُ المُتَوَا تِرُ هُوَالَّذِ ى رَوَاهُ جَمْعُ كَثِيْرٌ يُؤْ مَنُ تَوَا طُؤُ هُمْ عَلَى الكِذْ بِ عَنْ مِثْلِهِمْ اِلَى انْتِهَا السَّنَدِ وَ كَا نَ مُسْتَنَدُ هُمْ الحِسَّ.
Artinya:
"Hadits mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad dan semuanya bersandar kepada pancaindra."[3]
Kata-kata jam’ katsir (sejumlah banyak rawi) artinya jumlah itu tidak dibatasi dengan bilangan, melainkan dibatasi dengan jumlah yang secara rasional tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta. Demikian pula, mustahil mereka berdusta atau lupa secara serentak. Sebagian ulama cenderung membatasi jumlah mereka dengan bilangan. Oleh karena itu, sebagian pendapat menyatakan apabila jumlah mereka telah mencapai 70 orang, maka hadisnya dinilai mutawatir. Mereka berpegang kepada firman Allah Swt.
وَا خْتَارَ مُوْ سَى قَوْ مَهُ سَبْعِيْنَ رَ جُلً لمٍيْقَا تِنَا
Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan. (QS Al-A’raf [7] : 155)
Kata-kata عَنْ مِشْلِهِمْ اِلَى انْتِهَا السَّنَدِ  (dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad) mengecualikan hadis ahad pada sebagian tingkatnya lalu diriwayatkan oleh jumlah rawi mutawatir.[4] Jadi hadis yang disebut terakhir bukan hadis mutawatir. Contohnya hadis :
اِنَّمَا الاَ عْمَا لَ بِا لنِّيَّا تِ
Awal sanad hadis ini adalah ahad, tetapi pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Oleh karena itu, hadis ini tidak dapat disebut mutawatir.
Kata-kata وَكَا نَ مُسْتَنَدُ هُمْ الحِسَّ  (dan sandaran mereka adalah pancaindra) mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan kepada akal, seperti pernyataan tentang keesaan Allah. Kata-kata di atas juga mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahwa satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah akal, bukan berita.[5]
Contoh hadis mutawatir :
مَنْ كَذَ بَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَلَهُ مِنَ النَّا رِ.
Barang siapa berbuat dusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menempati tempat tinggalnya di neraka.
Hadis ini diriwayatkan dari Nabi Saw. Dengan redaksi yang sama oleh 70 orang sahabat lebih.
Contoh lainnya adalah hadis :
نَزَلَ القُرْآ نُ عَلَ سَبْعَةِ اَحْرُ فٍ
Al-Qur’an itu diturunkan atas tujuh huruf.
Hadis ini diriwayatkan oleh 27 orang sahabat.
b. Kriteria Hadits Mutawatir
Berdasarkan definisinya ada 4 kriteria hadits mutawatir[6], yaitu sebagai berikut:
1). Diriwayatkan sejumlah orang banyak
Para perawi hadis mutawatir syaratnya harus berjumlah banyak. Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah banyak pada para perawi hadis tersebut dan tidak ada pembatasan yang tetap. Di antara mereka berpendapat 4 orang, 5 orang, 10 orang, 40 orang, 70 orang bahkan ada yang berpendapat 300 orang lebih. Namun, pendapat yang terpilih minimal 10 orang seperti pendapat Al-Ishthikhari.
2).  Adanya jumlah banyak pada seluruh tingkatan sanad
Jumlah banyak orang pada setiap tingkatan (thabaqat) sanad dari awal sampai akhir sanad. Jika jumlah banyak tersebut hanya pada sebagian sanad saja maka tidak dinamakan mutawatir, tetapi dinamakan ahad atau wahid.
3). Mustahil bersepakat bohong
Di antara alasan pengingkar sunnah dalam penolakan mutawatir adalah pencapaian jumlah banyak tidak menjamin dihukumi mutawatir karena dimungkinkan adanya kesepakatan berbohong. Hal ini karena mereka menganalogikan dengan realita dunia modern dan kejujurannya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, apalagi jika ditunggangi masalah politik dan lain-lain. Demikian halnya belum dikatakan mutawatir karena sekalipun sudah mencapai jumlah banyak tetapi masih memungkinkan untuk berkosensus berbohong.
4). Sandaran berita itu pada pancaindra
Maksud sandaran pancaindra adalah berita itu didengar dengan telinga atau dilihat dengan mata dan disentuh dengan kulit, tidak disandarkan pada logika atau akal seperti tentang sifat barunya alam, berdasarkan kaedah logika; Setiap yang baru itu berubah (Kullu hadis in mutghayyirun). Alam berubah (al-alamu mutaghayyirun). Jika demikian, Alam adalah baru (al-alamu hadis un). Baru artinya sesuatu yang diciptakan bukan wujud dengan sendirinya. Jika berita hadits itu logis, maka tidak mutawatir.
c. Pembagian Hadits Mutawatir
Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
1)      Hadits Mutawatir Lafzi
Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain : Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya. Pengertian lain hadits mutawatir lafzi adalah Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi. Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :
مَنْ كَذَ بَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَلَهُ مِنَ النَّا رِ.
"Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka."
Hadits mutawatir lafzi adalah mutawatir dengan susunan redaksi yang persis sama atau satu redaksi. Dengan demikian garis besar serta perincian maknanya tentu sama pula, juga dipandang sebagai hadis mutawatir lafdhi, hadis mutawatir dengan susunan sedikit berbeda, karena sebagian digunakan kata-kata muradifnya (kata-kata yang berbeda tetapi jelas sama makna atau maksudnya). Sehingga garis besar dan perincian makna hadits itu tetap sama.
2)      Hadits mutawatir maknawi 
Hadits mutawatir maknawi adalah Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum (Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz). Adapun pengertian yang lain, hadis mutawatir maknawi adalah suatu hadis yang diriwayatkan oleh banyak rawi yang mustahil berbuat dusta atau berdusta keseluruhan secara kebetulan.[7] Mereka meriwayatkan berbagai peristiwa dengan berbagai ragam ungkapan, tetapi intinya sama, seperti mengangkat tangan dalam berdoa. Tindakan Nabi Saw. Ini diriwayatkan dalam seratus hadis, tetapi dalam berbagai kejadian yang berbeda-beda. Contoh : "Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa' dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya." (HR. Bukhari Muslim)
Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi : "Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau."
Contoh hadits mutawatir maknawi : “Rasulullah SAW pada waktu berdoa tidak mengangkat kedua tangannya begitu tinggi sehingga terlihat kedua ketiaknya yang putih, kecuali pada waktu berdoa memohon hujan”. (Hadis Riwayat Mutafaq’ Alaihi)
Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.
3)      Hadis Mutawatir Amali
Hadis Mutawatir Amali adalah sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu. Contoh : Kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya demikian.
Di samping pembagian hadis mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadis mutawatir menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.
d. Kedudukan Hadits Mutawatir
Kedudukan hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam tinggi sekali. Menolak hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama halnya dengan menolak kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Kedudukan hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dari kedudukan hadis ahad.
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath'i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas atau jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).
2. Hadits Ahad
a.       Pengertian Hadits Ahad
Menurut Istilah ahli hadis adalah suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir. Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut : suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syarat-syarat mutawatir.
b.      Pembagian Hadits Ahad
Hadits Ahad sendiri dibagi menjadi 3 macam, yaitu :
1). Hadits Masyhur
Al-Syuhrah (kemasyhuran) secara etimologis berarti ‘tersebar’ dan ‘tersiar’. Adapun pengertian asy-syuhrah dalam kaitannya dengan hadits masyhur menurut istilah ahli hadits yaitu menurut al-Hafizh Ibnu Hajar.
الحَدِ يْثُ المَشْهُوْرُ مَا لَهُ طُرُ قٌ مَحْصُوْرَةٌ بِاَ كْثَرَ مِنْ اِثْنَيْنِ.
Hadits masyhur adalah hadits yang memiliki sanad terbatas yang lebih dari dua.[8]
Kata-kata لَهُ طُرُ قٌ مَحْصُوْرَةٌ mengecualikan hadits mutawatir, karena hadits mutawatir itu tidak dibatasi dengan jumlah sanad tertentu, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Yang terpenting dalam hadits mutawatir adalah ketidakmungkinan adanya kesepakatan untuk berdusta, dan hal ini kadang-kadang dapat dicapai dengan 10 rawi yang tsiqat sebagaimana dapat dicapai dengan 50 rawi yang tidak tsiqat. Kata-kata بِاَ كْثَرَ مِنْ اِثْنَيْنِ mengecualikan hadits gharib dan hadits ‘aziz. Sering muncul anggapan bahwa hadits masyhur itu senantiasa sahih, karena sering kali seorang peneliti dengan pandangan sepintas dapat terkecoh oleh berbilangnya rawi, yang mengesankan kekuatan dan kesahihan sanad.  Akan tetapi para muhaddits tidak peduli dengan berbilangnya sanad apabila tidak disertai sifat-sifat yang menjadikan sanad-sanad itu sahih atau saling memperkuat sehingga dapat dipakai hujah.
Contoh hadits masyhur :
المُسْلِمُ اَخُو المُسْلِمِ
Setiap muslim adalah saudara muslim yang lain.
2). Hadits ‘Aziz
Asal kata istilah ini menurut bahasa adalah kata عَزَّ يَعَزُّ yang berarti ‘kuat’, sebagaimana difirmankan Allah Swt.
فَعَزَّ زْنَا بِثَا لِثٍ
Kemudian kami kuatkan dengan (utusan) ketiga (QS Yasin [36] :14).
Atau dari kata عَزَّ يَعَزُّ yang berarti sedikit atau jarang.[9]
Pengertian lain mengenai hadits ‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian setelah itu orang-orang pada meriwayatkannya. Contoh hadits ‘aziz :
لاَيَؤْ مِنُ اَ حَدُ كُمْ حَتَّى اَكُوْنَ اَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِ هِ وَالنَّا سِ اَ جْمَعِيْنَ.
Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu sebelum aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya, dan manusia seluruhnya.
Hadits ini diriwayatkan oleh Syaikhani dari Anas, dan al-Bukhari meriwayatkannya melalui jalan lain dari Abu Hurairah r.a. Hadits ini dari Anas diriwayatkan oleh Qatadah dan Abdul Aziz bin Shuhaib. Dari Qatadah diriwayatkan oleh Syu’bah dan Sa’id. Dari Abdul Aziz diriwayatkan oleh Ismail bin ‘Ulayyah dan Abdul Warits. Dan dari masing-masing rawi terakhir ini diriwayatkan oleh jemaah.
3). Hadits Gharib
Gharib menurut bahasa adalah orang yang menyendiri, mengasingkan diri, atau orang yang jauh dari sanak keluarganya. Menurut istilah muhadditsin, yang dimaksud dengan hadits gharib adalah :
هُوَا لحَدِ يْثُ الَّذِ ى تَفَرَّدَ بِهِ رَا وِيْهِ سَوَا ءٌ تَفَرَّ دَ بِهِ عَنْ اِمَا مٍ يُجْمَعُ حَدِ يْثُهُ اَوْ عَنْ رَاوٍ غَيْرِ اِمَا مٍ.
Hadits gharib adalah hadits yang rawinya menyendiri dengannya, baik menyendiri karena jauh dari seorang imam yang telah disepakati haditsnya, maupun menyendiri karena jauh dari rawi lain yang bukan imam sekalipun. Hadits yang demikian dinamai gharib karena ia seperti orang asing yang menyendiri dan tidak ada sanak keluarga di sisinya atau karena hadits tersebut jauh dari tingkat masyhur, terlebih lagi tingkat mutawatir. Contoh hadits gharib sebagaimana disebutkan oleh al-Turmudzi dalam al-Ilal, yaitu hadits Abu Musa al-Asy’ari dari Nabi Saw[10], bahwa beliau bersabda :
الكَا فِرُ يَأْ كُلُ فِى سَبْعَةِ اَمْعَا ءَ وَالمُؤْ مِنُ يَأْ كُلُ فِى مِعًى وَا حِدٍ.
Orang kafir itu makan sepenuh tujuh usus, sedangkan orang yang beriman makan sepenuh satu usus.

B.     Pembagian Hadits Ditinjau Dari Segi Kualitas Rawinya

1.      Hadits Sahih
a.       Pengertian Hadits Sahih
Ibnu shalah mengemukakan definisi hadis sahih, yaitu:
“Hadis sahih ialah hadis yang sanadnya bersambungan melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit pula, sampai ujungnya, tidak syaz dan tidak mu’allal (terkena illat).[11]
Ajjaj al-Khatib memberikan definisi hadis shahih, yaitu:
“Hadis yang bersambungan sanadnya melalui periwayatan perawi tsiqah dari perawi lain yang tsiqah pula sejak awal sampai ujungnya (rasulullah saw) tanpa syuzuz tanpa illat”.
Para ulama telah memberikan definisi hadits sahih sebagai hadits yang telah diakui dan disepakati kebenarannya oleh para ahli hadits.
الحَدِ يْثُ الصَّحِيْحُ هُوَ الحَدِ يْثُ الَّذِ ى اِتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ العَدْ لِ الضَّا بِطِ عَنِ العَدْ لِ الضَّا بِطِ اِ لَى مُنْتَهَا هُ وَلاَ يَكُوْنُ شَا ذَّا وَلاَ مُعَلَّلَا .
Hadits sahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith dari rawi lain yang (juga) adil dan dhabith sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat).[12]
b.      Pembagian Hadits Sahih
1). Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih li Dzatihi” karena telah memenuhi  semua syarat shahih,dan tidak butuh dengan riwayat yang lain untuk sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya telah tercapai dengan sendirinya. Contohnya adalah sabda Nabi Muhammad saw., "Tangan di atas (yang memberi) lebih baik dari tangan di bawah (yang menerima)." (HR. Bukhori dan Muslim)
2). Shahih li ghairihi, yaitu hadis hasan li dzatihi (tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi hadis maqbul),yang diriwayatkan melalui sanad yang lain yang sama atau lebih kuat darinya, dinamakan hadis shahih li ghairihi karena predikat keshahihannya diraih melalui sanad pendukung yang lain. Contohnya sabda Nabi Muhammad saw., "Kalau sekiranya tidak terlalu menyusahkan umatku untuk mengerjakannya, maka aku perintahkan bersiwak (gosok gigi) setiap akan sholat." (HR. Hasan)
c.         Kriteria Hadits Sahih

1). Hadis tersebut shahih musnad, yakni sanadnya bersambung sampai yang teratas.
2). Hadis shahih bukanlah hadis yang syaz yaitu rawi yang meriwayatkan memang terpercaya , akan tetapi ia menyalahi rawi-rawi yang lain yang lebih tinggi.
3).  Hadis shahih bukan hadis yang terkena ‘illat. Illat ialah: sifat tersembunyi yang mengakibatkan hadis tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara zahirnya terhindar dari illat.
4). Seluruh tokoh sanad hadis shahih itu adil dan cermat

d.        Contoh Hadits Sahih
Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Mereka berkata :
حَدَّ ثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ حَدَّ ثَنَا جَرِ يْرٌ عَنْ عُمَا رَ ةَ بْنِ القَعْقَا عٍ عَنْ اَبِى زُرْ عَةَ عَنْ اَبِى هُرَ يْرَةَ قَا لَ , جَا ءَرَجُلٌ اِلَى رَسُوْ لِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَا لَ : يَا رَ سُوْلُ اللَّهِ مَنْ اَحَقُّ بِحُسْنِ صَحَا بَتِى ؟ قَا لَ : اُ مُّكَ . قَا لَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَا لَ : اُمُّكَ . قَا لَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : اُمُّكَ . قَا لَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ ثُمَّ اَبُوْ كَ .
Meriwayatkan kepada kami Qutaibah bin said, ia berkata : “Meriwayatkan kepada kami Jarir dari ‘Umarah bin Al-Qa’qa’ dari Abu Zur’ah dari Abu Hurairah, ia berkata : ‘Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah Saw., lalu berkata : ‘Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuanku yang baik ?’ Rasulullah menjawab : ‘Ibumu’. Orang itu bertanya: ‘Kemudian siapa?’ Rasulullah menjawab : ‘Ibumu.’ Orang itu bertanya lagi: ‘Kemudian siapa?’ Rasulullah menjawab: ‘Ibumu’. Orang itu kembali bertanya: ‘Kemudian siapa?’ Rasulullah menjawab: ‘Kemudian bapakmu’.”
2.      Hadits Hasan
a.       Pengertian Hadits Hasan
الحَدِ يْثُ الحَسَنُ هُوَ الحَدِ يْثُ الَّذِ ى اِتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ عَدْ لٍ خَفَّ ضَبْطُهُ غَيْرُ شَا ذِّ وَ لاَ مُفَلَّلٍ .
Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil, yang rendah tingkat kekuatan daya hafalnya, tidak rancu dan tidak bercacat.
Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat.[13]

b.      Kriteria Hadits Hasan
1). Sanad hadis harus bersambung
2). Perawinya adil. 
3). Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih.
4). Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz.
5).        Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah).
                       
c.       Pembagian Hadits Hasan

1). Hadis hasan li dzatihi
Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.

2). Hadis hasan li ghairihi
Hadits hasan lighairihi adalah suatu hadits yang meningkat kualitasnya menjadi hadits hasan karena diperkuat oleh hadits lain. Jenis hadits inilah yang dimaksud oleh Imam al-Turmudzi dalam definisinya tentang hadits hasan.
“ Hadits yang kami sebut sebagai hadits hasan dalam kitab kami adalah hadits yang sanadnya baik menurut kami. Yaitu setiap hadits yang diriwayatkan melalui sanad yang di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta; matan haditsnya tidak janggal, diriwayatkan melalui sanad yang lain pula, yang sederajat. Hadits yang demikian menurut kami adalah hadits hasan.”
Contoh Hadits Hasan lighairihi dari Jami’ al-Turmudzi, ia berkata :
حَدَّ ثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرِ حَدَّ ثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَا ثٍ عَنْ حَجَّا جٍ عَنْ عَطِيَّةَ عَنِ بْنِ عَمَرَ قَا لَ : صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ فِى السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ وَبَعْدَ هَا رَ كْعَتَيْنِ
Meriwayatkan hadits kepada kami, Ali bin Hujr, ia berkata, Meriwayatkan hadits kepada kami Hafs bin Ghiyats dari Hajjaj dari ‘Athiyah dari Ibnu Umar, ia berkata, “Aku salat Zuhur dua rakaat bersama Rasulullah Saw. Dalam suatu perjalanan dan setelah itu salat dua rakaat lagi.”[14]  

d.      Contoh Hadits Hasan
Hadits yang diriwayatkan Ahmad, ia berkata, “Yahya bin Said meriwayatkan hadits kepada kami dari Bahz bin Hakim, ia mengatakan, ‘Meriwayatkan hadits kepadaku Bapakku dari kakekku, katanya : Aku bertanya :
يَا رَ سُوْ لَ اللَّهِ مَنْ اَبَرُّ ؟ قَا لَ : اُمَّكَ . قَا لَ قُلْتُ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَا لَ : ثُمَّ أُ مَّكَ . قَا لَ قُلْتُ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَا لَ اُمَّكَ ثُمَّ اَبَا كَ ثُمَّ الاَ قْرَ بَ .
“Ya Rasululloh, kepada siapakah aku harus berbakti ?” Rasulullah menjawab, “Kepada ibumu.” Aku bertanya, “Lalu kepada siapa?” Rasulullah menjawab, “Lalu kepada ibumu.” Aku bertanya, “Lalu kepada siapa?” Rasulullah menjawab, “Ibumu kemudian bapakmu, kemudian kerabat terdekat dan selanjutnya.”[15]

3.      Hadits Dhaif
a.       Pengertian Hadits Dhaif
Dha’if menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Hadis dhaif menurut istilah adalah “hadis yang didalamnya tidak didapati syarat hadis shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan.”
Definisi yang paling baik untuk hadits dhaif adalah sebagai berikut :
مَا فَقِدَ شَرْ طًا مِنْ شُرُ وْ طِ الحَدِ يْثِ المَقْبُوْ لِ .
Hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits makbul (yang dapat diterima).[16]
b.      Pembagian Hadits Dhaif
 Dari segi keterputusan sanad, hadits dhoif terbagi menjadi lima macam:
·         hadits mursal, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in dengan menyebutkan ia menerimanya langsung dari Nabi Muhammad saw., padahal tabi’in (generasi setelah sahabat) tidaklah mungkin bertemu dengan nabi. Contohnya :
قال مالك عن جعفر بن محمد عن أبيه أن رسول الله قضى باليمن والشاهد
Disini Muhammad bin Ali Zainul Abidin tidak menyebutkan sahabat yang menjadi perantara antara nabi dan bapaknya.
·         Hadits munqothi’ yaitu hadits yang salah seorang rawinya gugur (tidak disebutkan namanya) tidak saja pada sahabat, namun bisa terjadi pada rawi yang di tengah atau di akhir. Contohnya :
ما رواه عبد الرزاق عن الثورى عن أبى إسحاق عن زيد بن يثيع عن حذيفه مرفوعا إن وليتموها أبا بكر فقوى أمين
Riwayat yang sebenarnya adalah Abdul Razak meriwayatkan hadis dari Nukman bin Abi Saybah al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadis dari Abi Ishak, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari Zaid.
·         Hadits al-mu’adhdhol, yaitu hadits yang dua orang atau lebih dari perawinya setelah sahabat secara berurutan tidak disebutkan dalam rangkaian sanad. Contohnya :
Diriwayatkan oleh al-Hakim dengan sanadnya kepada al-Qa’naby dari Malik bahwasanya dia menyampaikan, bahwa Abu Hurairah berkata, rasulullah bersabda,
للمملوك طعامه وكسوته بالمعروف ، لا يُكلّف من العمل إلا ما يُطيق
Al-Hakim berkata,” hadis ini mu’dhal dari Malik dalam kitab al-Muwaththa’., Letak ke-mu’adalahan-nya karena gugurnya dua perawi dari sanadnya yaitu Muhammad bin ‘Aljan, dari bapaknya. Kedua perawi tersebut gugur secara berurutan.
·         Hadits mudallas, yaitu hadits yang rawinya meriwayatkan hadits tersebut dari orang yang sezaman dengannya, tetapi tidak menerimanya secara langsung dari yang bersangkutan;
·         Hadits mu’allal, yaitu hadits yang kelihatannya selamat, tetapi sesungguhnya memiliki cacat yang tersembunyi, baik pada sanad maupun pada matannya.
Diriwayatkan oleh Bukhari:
قال مالك عن الزهرى عن أبى سلمة عن أبى هريرة عن النبى "لا تفا ضلوا بين الأنبيأ
Dikatakan Muallaq karena Imam bukhari langsung menyebut Imam Malik padahal ia dengan Imam Malik tidak pernah bertemu.

c.       Contoh Hadits Dhaif
Hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam kitab Sunan-nya: Meriwayatkan kepada kami Abu Ahmad al-Marrar bin Hammuyah, katanya : meriwayatkan kepada kami Muhammad bin al-Mushaffa, katanya : Meriwayatkan kepada kami Baqiyyah bin Al-Walid dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Mi’dan dari Abu Umamah dari Nabi Saw. Bahwa beliau berkata :
مَنْ قَا مَ لَيْلَتَى العِيْدَ يْنِ يَحْتَسِبُ لِلَّهِ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْ مَ تَمُوْ تُ ا لَقُلُوْ بُ
“Barang siapa berdiri mengerjakan shalat pada malam dua hari raya semata-mata karena Allah, maka tidak akan mati hatinya pada hari semua hati mati.”[17]

4.      Hadits Maudhu’
a.       Pengertian Hadits Maudhu’
الحَدِ يْثُ المَوْ ضُوْ عُ هُوَ المُخْتَلَقُ الْمَصْنُوْ عُ
Hadits Maudhu’ adalah hadits yang diada-adakan dan dibuat-buat.[18]
Yakni hadits yang disandarkan kepada Rasulullah Saw. Dengan dusta dan tidak ada kaitan yang hakiki dengan Rasulullah.
Hadis ini adalah yang paling buruk dan jelek diantara hadis-hadis dhaif lainnya. Selain ulama membagi hadis menjadi empat bagian: shahih, hasan, dhaif dan maudhu’. Maka maudhu menjadi satu bagian tersendiri.[19]
b.      Sejarah munculnya Hadits Maudhu’
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadis, berikut pendapat mereka[20]:

1). Menurut Ahmad Amin bahwa hadis maudhu’ terjadi sejak masa rasulullah masih hidup.
2).  Shalahuddin ad-Dabi mengatakan bahwa pemalsuan hadis berkenaan dengan masalah keduniaan yang terjadi pada masa rasulullah saw.
3).  Menurut jumhur al-muhaddin, pemalsuan hadis terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
c.       Sumber-sumber Hadits Maudhu’
1). Al- Maudhu’at karya al-Imam al-Hafizh Abul Faraj Abdurrahman bin al-Jauzi (w.597 H)
2). Al-La’ali’ al-Mashnu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah karya al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi (w.911 H)
3). Tanzih al-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Ahadits al-Syani’ah al-Maudhu’ah karya al-Hafizh Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Iraq al-Kannani (w. 963 H).




d.      Contoh Hadits Maudhu’
اِنَّ اللَّهَ اِذَ ا غَضِبَ اِ نْتَفَخَ عَلَى العَرْ شِ حَتَّى يَثْقُلَ عَلَى حَمَلَتِهِ
“Sesungguhnya apabila Allah marah, maka ia meniup ‘Arasy sehingga terasa berat bagi para malaikat penyangganya”.[21]
Hadits palsu ini dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dan ia beranggapan bahwa rawinya adalah Ayyub bin Abdissalam, seorang pendusta, dan hadits ini merupakan hasil kedustaan dan rekadayanya.
























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Hadits dilihat dari segi kuantitas perawinya dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu Hadits Mutawatir perawinya dan Hadits Ahad. Sedangkan dilihat dari segi kualitas perawinya maka dapat dibedakan menjadi empat macam, antara lain adalah Hadits Shahih, Hadits Hasan, Hadits Dhaif, dan Hadits Maudhu’.


B.     Saran

Untuk selanjutnya, setelah menguraikan pembagian hadits dilihat dari segi kuantitas dan kualitas rawi, penulis berharap agar penulis lain membahas mengenai kriteria dan kehujjahan dari hadits shahih, hasan, dan dhaif.
















DAFTAR PUSTAKA


Nuruddin ‘Itr.’Ulumul Hadis. Bandung. PT REMAJA ROSDAKARYA. 2012. Hal 428

http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/ulumul-hadits/allsub/99/ di akses tanggal 9 September 2014. adv@kawatama.com


AL Farisi. “Hadits Shahih, Hasan, Dhaif, Maudhu”. http://ulivinalfaris.blogspot.com/p/pembagian-hadits.html di akses tanggal 20 September 2014.



[2] Ibid,.
[3]Nuruddin ‘Itr, ”Ulumul Hadis” (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), 428.
[4] Ibid.,429
[5] Ibid.,429
[7] Nuruddin ‘Itr, “Ulumul Hadis” (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), 431.

[8] Nuruddin ‘Itr, “Ulumul Hadis” (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), 434.

[9] Nuruddin ‘Itr, “Ulumul Hadis” (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), 443.


[10] Ibid., 421
[11] http://ulivinalfaris.blogspot.com/p/pembagian-hadits.html, diakses pada tanggal 20 September 2014.
[12] Nuruddin ‘Itr, “Ulumul Hadis” (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), 240.

[13] http://ulivinalfaris.blogspot.com/p/pembagian-hadits.html, diakses pada tanggal 20 September 2014.

[14] Nuruddin ‘Itr, “Ulumul Hadis” (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), 274.
[15] Nuruddin ‘Itr.’Ulumul Hadis. (Bandung. PT REMAJA ROSDAKARYA 2012). Hal 267
[16] Ibid., 291
[17] Nuruddin ‘Itr, “Ulumul Hadis” (Bandung :PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), 301.
[18] Ibid., 308.
[19]AL Farisi, “Hadits Shahih,Hasan,Dhaif,Maudhu” (http://ulivinalfaris.blogspot.com/p/pembagian-hadits.html), diakses pada tanggal 20 September 2014
[20] Ibid.,


[21] Nuruddin ‘Itr, “Ulumul Hadis” (Bandung:  PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), hal 312,

1 komentar:

  1. Setelah dipelajari secara seksama, Ternyata masih banyak informasi seputar kuantitas dan kualitas hadits yang belum dijelaskan.. untuk info tambahan,,, coba anda pelajari di artikel ni... http://www.tanjakan.com/aspek-kuantitas-dan-kualitas-hadits/

    BalasHapus